Pemuda dan Strategi Pelestarian Budaya Lokal

Editor: Mustopa

20 November 2024 15:13 20 Nov 2024 15:13

Thumbnail Pemuda dan Strategi Pelestarian Budaya Lokal Watermark Ketik
Oleh: Muhammad Aufal Fresky*

Indonesia merupakan negara besar dengan kekayaan alam melimpah dan keragaman budaya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Hal itu merupakan anugerah tersendiri bagi kita, terutama generasi muda yang memiliki tanggung jawab untuk terus menerus berupaya melestarikan kekayaan tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur.

Seperti tari-tarian daerah, lagu-lagu daerah, batik, gamelan, dan sebagainya. Bagaimanapun juga, pemuda hari ini adalah pemegang estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Kepekaan dan kepedulian kaum muda diharapkan menjadikan budaya lokal semakin lestari.

Sebab, bukan tidak mungkin, arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat, menyebabkan pemuda justru lebih gandrung terhadap budaya asing dibandingkan budayanya sendiri.

 Era digital membuat pemuda hari ini hidup tanpa sekat ruang dan waktu. Segala jenis informasi dan pengetahuan bisa diakses oleh setiap pemuda mana pun, bahkan yang berada di pelosok desa. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemuda agar kembali meneguhkan identitas dan jati dirinya. Lebih mengenal, mengetahui, dan memahami seluk beluk dan akar budayanya. 

Gempuran budaya dari berbagai negara bisa menarik perhatian pemuda kita. Mulai dari cara berpakaian, berbahasa, hingga bagaimana berinteraksi dengan sesamanya. Gaya dan pola hidup kita sebagai putra-putri Nusantara bisa saja menjiplak orang-oang Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan lain sebagainya.

Semua yang berasal dari luar negeri dikiranya benar dan baik untuk diterapkan di Tanah Air. Tanpa disaring terlebih dahulu, kita konsumsi semuanya. 

Tradisi ketimuran yang mengedepankan adab atau tata krama dianggap ketinggalan zaman dan tak lagi relevan. Lagu-lagu daerah, batik, pencak silat, soto, sate, gado-gado, rumah gadang, Taneyan Lanjeng, dan beragam budaya khas Nusantara lainnya, dianggap kuno.

Jangankan bangga terhadap budayanya sendiri, belajar untuk mengenalinya saja susahnya bukan main. Pemuda-pemuda semacam itu akan kehilangan identitas dirinya. Tidak memahami bagaimana sejarah bangsanya yang begitu menakjubkan di masa silam. 

Padahal, kebanggaan dan rasa memiliki terhadap budaya lokal akan membangkitkan rasa cinta terhadap Tanah Air. Akan membuat jiwa dan spirit nasionalisme pemuda berkobar-kobar. Pertanyaannya adalah bagaimana kita membangun rasa bangga terhadap budaya lokal jika kita sendiri tidak mencoba untuk mengetahuinya? Tak kenal akan maka tak sayang. 

Begitulah kata pepatah yang sudah sering kita didengar. Artinya untuk lebih mencintai budaya lokal, harus mengenali terlebih dahulu. Dalam hal ini, peran lembaga pendidikan sangat sentral dalam mengkampanyekan budaya lokal kepada siswa. Rasa-rasanya, perlu dibuatkan skema khusus terkait pengenalan budaya lokal sejak dini.

Tidak hanya pengetahuan teoritis, tapi juga dibutuhkan sentuhan langsung agar lebih berkesan dan sukar dilupakan. Semisal dengan mengadakan wisata budaya ke sebuah Kampung Batik. Di sana, siswa bisa mengamati langsung bagaimana proses pembuatan batik.

Bahkan, mereka bisa mencoba langsung merasakan sensasinya bagaimana membatik. Ini konsep learning by doing yang saya rasa cukup ampuh untuk menanamkan rasa bangga terhadap budaya lokal. 

Menurut Sendjaja (1994), ada dua cara yang dapat dilakukan generasi muda untuk melestarikan budaya lokal. Di antaranya cultural experience dan cultural knowledge. Cultural experience yaitu pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke dalam sebuah pengalaman kultural. 

Jika kebudayaan tersebut berupa tari-tarian, maka pemuda diimbau untuk belajar dan berlatih untuk menguasai tarian-tarian tersebut agar bisa dipentaskan dalam festival yang digelar setiap tahun misalnya. 

Cultural knowledge merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat difungsionalisasi  ke dalam bermacam-macam bentuk. Tujuannya untuk kepentingan pengembangan kebudayaan itu sendiri dan potensi kepariwisataan daerah.

Sebab itulah, hemat saya, kombinasi antara pengetahuan dan pengalaman bisa menciptakan kesadaran, Dan kesadaran akan menjadi stimulus bagi pemuda untuk bergerak bersama-sama melestarikan ragam budaya lokal. Bagi pemuda yang sudah mengetahui dan pernah terjun langsung dalam kegiatan kultural, bisa juga membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada yang lainnya.

Sehingga, pemuda yang belum sadar tersebut bisa dipersuasi untuk lebih mencintai budaya lokal. Saling mengingatkan dan menasehati untuk kemajuan bangsa dan negara di bidang kebudayaan akan membuat bangsa ini menjadi bangsa besar, maju, dan disegani dunia. Sebab, di tangan pemudalah, nasib bangsa ini ditentukan. Spirit nasionalisme bisa digelorakan lewat jalur budaya. 

Tidak hanya itu, pemerintah juga berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan dukungan penuh lewat aturan, program, dan pendanaan bagi pengembangan budaya lokal. Dalam hal ini, pemerintah bisa berkolaborasi dan bersinergi dengan pemuda dan komunitas budaya untuk memajukan dan melestarikan budaya lokal. 

Salah satu yang bisa diperbuat oleh pemerintah, baik daerah maupun pusat, yaitu dengan rutin menyelenggarakan festival kebudayaam. Dalam penyelenggarannya, pemuda harus dilibatkan sepenuhnya. Sebab itu akan menjadi ajang edukasi dan kaderisasi bagi pemuda, khususnya terkait bagaimana lebih mengenal dan mencintai budaya lokal. 

Tidak hanya itu, pemerintah juga bisa kembali melibatkan pemuda dalam pameran seni skala nasional/internasional dan kompetisi kebudayaan tingkat nasional/internasinal. Sekali lagi, hal itu sebagai bentuk upaya pelestarian budaya lokal. 

Kemudian, setelah memiliki pengetahuan dan kesadaran, akan tumbuh benih-benih rasa nasionalisme dalam jiwa. Dalam hal ini, pemuda yang sudah paham dan sadar, diharapkan bisa proaktif menyuarakan dan mempromosikan keindahan dan keunikan berbagai budaya di Tanah Air lewat media sosialnya. Hal itu, selain sebagai bentuk rasa bangga dan cinta kita, juga sebagai bentuk upaya kita dalam mendharmabaktikan diri kepada Indonesia. 

*) Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi, Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)
     

Tombol Google News

Tags:

opini Muhammad Aufal Fresky