Pilkada Bondowoso dan Ancaman Politik Uang

Editor: Mustopa

10 November 2024 09:20 10 Nov 2024 09:20

Thumbnail Pilkada Bondowoso dan Ancaman Politik Uang Watermark Ketik
Oleh: Melfin Zaenuri*

Berbeda dengan Pilkada Bondowoso sebelumnya, Pilkada 2024 ini membawa perasaan khawatir dan was-was akan politik uang. Pasalnya, Pemilu 2024 yang baru kita laksanakan pada awal tahun ini mengonfirmasi betapa menjamurnya penggunaan politik uang untuk memperoleh suara rakyat. Prediksinya, politik uang dalam Pilkada 2024 tidak kalah menjamur ketimbang Pemilu 2024.

Dalam Pilkada Bondowoso 2024, aroma politik uang dengan berbagai ‘variannya’ mulai tercium menyengat. Bahkan beberapa kalangan tidak sekadar ‘mencium’, tapi melihatnya dengan kasat mata. Artinya, politik uang dalam hajatan politik telah menjadi rahasia umum. Karena sudah ‘tahu sama tahu’, politik uang seolah-olah normal. Padahal sebenarnya memiliki bahaya yang merusak tatanan publik.

Lalu, apa saja tanda-tanda aroma politik uang mulai merebak, dan bagaimana konsekuensinya jika politik uang menjamur dalam Pilkada Bondowoso 2024? Mungkinkah terjadi progresivitas pembangunan Bondowoso jika pemimpinnya dihasilkan dari politik uang?

Memahami Politik Uang

Politik uang tidak dapat dimaknai secara tekstual sebagai bagi-bagi uang agar memilih calon kepala daerah dalam hajatan pilkada. Politik uang lebih dari sekadar itu. Ada varian dan konteks sosial-politiknya. Edward Aspinall dan Mada Sukmajati dalam Patronase dan Klientelisme dalam Politik Elektoral di Indonesia (PolGov, 2015) memaknai politik uang dalam konteks patronase dan klientelisme. 

Menurut Aspinal dan Sukmajati, “patronase merujuk pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau pendukung. Sebaliknya klientelisme merujuk pada karakter relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung” yang bersifat timbal balik (kontingensi), hierarkis dan berlangsung secara terus menerus (repetitif). Di luar dua konteks patronase dan klientelisme tersebut, ada konteks oligarki yang dalam politik lokal mewujud dalam relasi penguasa dan pengusaha (dalam istilah Rizal Ramli (alm.) disebut “peng-peng”).

Politik uang setidaknya mewujud ke dalam beberapa varian, yaitu vote buying (jual-beli suara), pemberian barang-barang pribadi (individual gifts) dan kelompok (club goods) serta pendanaan kegiatan dan program (services and activities). Tujuannya satu, yakni memperoleh timbal balik berupa dukungan pemilih kepada politisi dalam suatu hajatan politik elektoral. Sebagian dari varian politik uang tersebut tergolong biaya politik (cost politics), sejauh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Relasi Penguasa-Pengusaha

Bagaimana kandidat mendanai kegiatan politik dan politik uangnya? Jika kandidatnya merupakan petahana (incumbent) biasanya memanfaatkan program, proyek dan kegiatan pemerintah. Inilah yang disebut dengan pork barrels project (proyek-proyek gentong babi). Ada juga kandidat yang memanfaatkan partisipasi publik dengan metode crowdfunding atau iuran. Kandidat model begini biasanya punya modal sosial dan kultural yang kuat di masyarakat. 

Ada juga kandidat yang berkongsi dengan pengusaha, sehingga terbangun relasi timbal-balik dengan harapan ada cashback di kemudian hari. Karena dalam politik ‘tidak ada makan siang gratis’, there is no free lunch in politics, maka pengusaha yang ‘membantu’ pendanaan akan menagih ‘bantuannya’ jika kandidat sudah berkuasa. 

Cashback-nya bisa berwujud proyek-proyek pemerintah ataupun kemudahan izin dan akses untuk menjalankan usaha. Dengan kata lain, kandidat tersandera dengan ‘bantuan’ pengusaha. Dampaknya, kepentingan publik diabaikan sementara kepentingan pengusaha diutamakan. Inilah relasi timbal-balik antara penguasa dan pengusaha yang telah menjerat banyak kepala daerah di berbagai penjuru negeri ke dalam jurang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Lalu, bagaimana dengan Pilkada Bondowoso 2024? Tanda-tanda kongsi (calon) penguasa dan pengusaha sudah menguat. Bahkan dilakukan secara terang-terangan dengan kerap kali tampil ke publik. Inilah yang menjadi alasan mengapa Pilkada Bondowoso 2024 ini membawa perasaan khawatir dan was-was. Jika relasi peng-peng ini terus terjadi, maka tidak menutup kemungkinan kepentingan dan kebutuhan publik akan absen dalam lima tahun ke depan. Yang ada justru kepentingan pengusaha yang difasilitasi dan diakomodir.

Oleh karena itu, pemilih harus cerdas memilih pemimpin Bondowoso untuk lima tahun ke depan. Benteng terakhir adalah kesadaran pemilih, bahwa suaranya punya kuasa untuk menentukan keberpihakan pembangunan Bondowoso ke depannya. Mari menjadi pemilih cerdas untuk Bondowoso yang berkelas.

*) Melfin Zaenuri merupakan pemuda Bondowoso dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Politik Uang Pilkada bondowoso