Semakin Kreatif, Festival Reog XXVIII IAIN Ponorogo Sukses Tampilkan Reog Santri, Begini Penjelasannya

Jurnalis: Ian Alfatih
Editor: Eko Suprayitno

15 Juli 2023 13:00 15 Jul 2023 13:00

Thumbnail Semakin Kreatif, Festival Reog XXVIII IAIN Ponorogo Sukses Tampilkan Reog Santri, Begini Penjelasannya Watermark Ketik
Penampilan salah satu peserta Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) XXVIII pada hari pertama di panggung utama alun-alun, Jumat (14/7/2023).(Foto: Humas Pemkab Ponorogo)

KETIK, PONOROGO – Pertunjukan Reog Ponorogo semakin berkembang kendati sudah hampir tiga dekade difestivalkan. Seniman ReogPonorogo diberbagai belahan dunia tak pernah berhenti dalam berkreativitas.

Hal itu seperti tersaji dalam pertunjukan empat penampil pertama Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) XXVIII, pada Jumat (14/7) malam, hingga sukses membuat dewan juri tercengang.

Grup Reog Watoe Dhakon dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, misalnya, menyelipkan syair Syubbanul Wathon yang merupakan karya KH Abdul Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama.

‘’Persaingan antar peserta semakin ketat dari sisi garap tari, musik, tata busana, maupun koreografinya. Benar-benar di luar ekspetasi kita,’’ kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Ponorogo Judha Slamet Sarwo Edi.

Menurut Judha, FNRP bertujuan mempertahankan kesenian asli Ponorogo sehingga tidak ada pembatasan kreativitas seniman.

Dalam festival reog tidak mengenal pakem meskipun terdapat acuan yang tertuang dalam Buku Panduan Dasar Pertunjukan Reog Ponorogo. Judha menilai beragam kreasi yang ditampilkan di FNRP masih dalam koridor wirogo, wiroso, dan wiromo Ponoragan.

‘’Kita tidak boleh terjebak dalam pakem. Substansi pakem itu apa, kita perlu duduk bersama,’’ jelasnya.

Judha juga sempat membahas penampilan grup reog dari IAIN Ponorogo yang menyelipkan lirik bernuansa Islami. Itu membuktikan bahwa reog berkembang dalam wilayah manapun dan siapapun berhak berkreativitas asalkan tidak menambahkan instrumen lainnya.

‘’Penampilan grup dari IAIN bisa dikatakan reog santri. Sah-sah saja karena mereka tumbuh di ekosistem santri sehingga terjadi kolaborasi saat iring-iring (penutupan) ada syair bernuansa Islami,” terangnya.

Tatkala Reog Ponorogo terinskripsi sebagai warisan budaya tak benda (WBTb) di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), maka akan terjadi perkembangan pesat. Seniman dari berbagai belahan dunia bakal mengkreasi reog dengan tidak meninggalkan seni tradisinya.

‘’Ketika sudah terdaftar di UNESCO, tidak perlu lagi terjadi perdebatan kalau ada yang memberi sentuhan inovasi terhadap reog,’’ ungkap Judha.

Masih kata dia, hanya ada batasan tipis antara kreativitas dan originalitas. Terjadi akulturasi saat reog dimainkan di Belanda, Amerika, atau daerah lainnya di Indonesia.

‘’Tentu di sana ada perpaduan dua budaya pada tempat reog itu berkembang. Tidak membatasi seniman dalam berkreativitas tetapi harus berpedoman pada Buku Panduan Dasar Pertunjukan Reog Ponorogo,’’ pungkasnya (*)

Tombol Google News

Tags:

Festival Nasional Reog Ponorogo IAIN Ponorogo Reog Santri 1 Muharram Ponorogo Kota Reog