ISSPA Gugat 3 Perusahaan Akibat Maraknya Karhutla di Sumsel

Jurnalis: Wisnu Akbar Prabowo
Editor: Mustopa

29 Agustus 2024 08:59 29 Agt 2024 08:59

Thumbnail ISSPA Gugat 3 Perusahaan Akibat Maraknya Karhutla di Sumsel Watermark Ketik
Salah seorang penggugat memegang poster bertuliskan "Kami Bukan Ikan Salai". Diketahui, Ikan Salai merupakan salah satu jenis ikan asap tradisional Indonesia dan merupakan kuliner lokal dari Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)

KETIK, PALEMBANG – Sejumlah masyarakat Sumatera Selatan (Sumsel) yang tergabung dalam Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA) mendaftarkan gugatan atas tiga perusahaan yang diduga menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP) dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBA Wood Industries). Ketiga perusahaan tersebut dilaporkan oleh ISSPA ke Pengadilan Negeri Palembang.

Menurut salah satu penggugat, Pralensa, ia dan keluarganya telah menjadi korban kabut asap selama bertahun-tahun, khususnya saat musim kemarau tiba.

“Bertahun-tahun saya menjadi korban kabut asap akibat karhutla, dan tahun lalu rumah walet saya ikut terbakar. Kami datang hari ini untuk menggugat tiga perusahaan yang kami anggap membawa dampak kabut asap yang kami rasakan hampir setiap kemarau,” katanya, Kamis, 29 Agustus 2024.

Pralensa juga mengatakan, melalui gugatan ini, ia bersama para penggugat lainnya ingin memberi peringatan kepada perusahaan bahwa aktivitas membuka lahan dengan cara membakar merupakan hal yang salah.

Sebab, tambah Pralensa, hal itu menyebabkan kabut asap pekat yang merusak lingkungan, mengganggu ruang kehidupan masyarakat setempat, serta membahayakan kesehatan masyarakat.

Hal tersebut dibenarkan oleh penggugat lainnya, Marda Ellius. Ia mengaku sering merasa tertekan karena khawatir dengan kesehatan diri serta anak-anaknya.

Marda menyebutkan, setiap kali kabut asap muncul akibat karhutla, ia selalu merasakan gatal-gatal di badan serta batuk kering. Selain itu, kabut asap juga menyebabkan udara menjadi kering dan panas.

Kemudian, saat terjadi kabut asap, ekonomi keluarganya menjadi terganggu karena asap menghalangi mereka untuk beraktivitas seperti menyadap karet atau menangkap ikan.

“Ekonomi keluarga terganggu karena asap menghalangi kami. Saya memutuskan menjadi salah satu penggugat dengan harapan perusahaan dan pemerintah lebih memikirkan lingkungan hidup,” jelas Marda.

Di tempat yang sama, Kuasa Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, Ipan Widodo menuturkan bahwa Provinsi Sumsel sudah lama menjadi wilayah yang rentan akan bencana karhutla.

Hal itu disebabkan struktur tanah Sumsel yang sebagian besar terdiri dari tanah gambut yang memiliki kedalaman rata-rata mencapai 5 meter. Apabila lahan gambut tersebut kering, maka api akan sangat mudah menyebar dan sulit dipadamkan.

Ketua Persatuan Advokat Dampak Krisis Ekologi tersebut juga menjelaskan, karhutla yang terjadi di wilayah para tergugat telah berkontribusi pada bencana kabut asap yang melanda pada tahun 2015, 2019, dan 2023, dengan luas area terbakar pada 2015-2020 mencapai 254.787 hektare, yang setara dengan empat kali luas DKI Jakarta.

“Ini pertama kalinya masyarakat menuntut pertanggungjawaban mutlak dari badan hukum atas kerugian akibat pencemaran atau perusakan lingkungan yang diperbuat badan hukum tersebut. Perjuangan ini akan jadi babak baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia dan gaya baru perjuangan rakyat melawan krisis iklim,” jelas Ipan.

Ipan juga menyebutkan bahwa ketiga perusahaan yang digugat tersebut sebelumnya sudah pernah dikenakan sanksi dan denda akibat karhulta yang terus berulang. Namun nyatanya, hal itu tak memberikan efek jera.(*)

Tombol Google News

Tags:

Perusahaan Karhutla kebakaran lahan gambut Sumsel asap kabut Bencana Ogan Komering ilir OKI Pengadilan Negeri Palembang