Dosen Hukum Unair Buka Suara Soal Aturan Korban Pemerkosaan Diperbolehkan Aborsi

Jurnalis: Shinta Miranda
Editor: Mustopa

5 Agustus 2024 09:13 5 Agt 2024 09:13

Thumbnail Dosen Hukum Unair Buka Suara Soal Aturan Korban Pemerkosaan Diperbolehkan Aborsi Watermark Ketik
Potret Dosen Hukum Universitas Airlangga (Unair) Dr Riza Alfianto SH MTCP. (Foto: Humas Unair)

KETIK, SURABAYA – Pemerintah Indonesia baru saja mengeluarkan kebijakan terbaru mengenai aborsi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.

Peraturan ini menetapkan sejumlah syarat ketat terkait aborsi, termasuk kondisi-kondisi yang membolehkan tindakan tersebut secara legal, serta prosedur yang harus dipenuhi.

Dalam Pasal 116, dijelaskan bahwa aborsi dilarang secara umum, kecuali dalam dua kondisi khusus

Terkait aturan tersebut, Dosen Hukum Universitas Airlangga (Unair) Dr Riza Alfianto SH MTCP menyebutkan bahwa aborsi merupakan tindakan yang dilarang dalam hukum di Indonesia, kecuali terdapat kondisi kedaruratan medis. 

Riza mengatakan bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 1946 pasal 346 telah mengatur tindakan aborsi, tetapi pengaturan aborsi bagi korban pemerkosaan belum diatur secara khusus di dalamnya.

“Tindakan aborsi dapat dilakukan atas dasar kondisi kedaruratan medis. Kondisi kedaruratan medis merupakan benturan antara kewajiban hukum dan kepentingan hukum, sehingga dapat menjadi alasan penghapus pidana,” tuturnya.

Pasal 60 ayat (2) huruf c Undang-Undang Kesehatan tahun 2023 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban pemerkosaan.

“Maksud dari kecuali korban perkosaan yakni undang-undang hanya memperbolehkan aborsi apabila wanita hamil tersebut adalah korban tindak perkosaan, sesuai dengan syarat yang diatur undang-undang,” jelasnya.

Riza menjelaskan bahwa persyaratan usia kehamilan yang dapat dilakukan tindakan aborsi terhadap korban perkosaan sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 463 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2023. 

“Meskipun Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2023 masih belum berlaku, tetapi telah diatur bahwa aborsi bagi korban perkosaan dilakukan ketika kondisi kehamilan tidak melebihi empat belas minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis” tuturnya.

Ia mengungkapkan bahwa untuk membuktikan tindakan aborsi sehingga dapat dipidana yaitu harus terdapat hubungan kausal antara perbuatan pelaku aborsi dan matinya janin.

Pasal 428 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan tahun 2023 membagi menjadi dua konsep yaitu dengan persetujuan korban dan tanpa persetujuan korban, keduanya dikenakan hukuman penjara. 

“Tenaga medis yang melakukan tindakan aborsi diluar ketentuan undang-undang, akan mendapatkan hukuman yang lebih berat. Pasal 429 ayat (1) Undang-undang kesehatan telah jelas bahwa tenaga medis dapat dihukum satu pertiga lebih berat dan dapat dikenakan sanksi etik profesi,” ungkapnya.

Riza berharap bahwa pengaturan mengenai tindakan aborsi secara ilegal di Indonesia tetap dikategorikan sebagai tindak pidana.

“Aborsi secara ilegal merupakan tindak pidana, sehingga pelakunya harus dihukum sesuai tindakannya, karena aborsi merupakan kategori dari tindak pidana pembunuhan,” pungkasnya.(*)

Tombol Google News

Tags:

Unair Dosen Hukum korban pemerkosaan Aborsi Dr Riza Alfianto