Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca, Indonesia Perkuat Pengelolaan Lahan Gambut

Jurnalis: Wisnu Akbar Prabowo
Editor: Millah Irodah

19 November 2024 13:16 19 Nov 2024 13:16

Thumbnail Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca, Indonesia Perkuat Pengelolaan Lahan Gambut Watermark Ketik
Diskusi Ekspose Nasional Pahlawan Gambut - Terus Jaga Gambut dengan tema "Rekam Jejak Peningkatan Pengelolaan Lahan Gambut dan Kapasitas Pemangku Kepentingan di lndonesia melalui Peat-IMPACTS", Selasa, 12 November 2024 di Jakarta. (Foto: International Centre for Research in Agroforestry)

KETIK, JAKARTA – Di zaman yang semakin dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan besar terkait pengelolaan lahan gambut. 

Lahan gambut telah menjadi penopang hidup sebagian besar masyarakat--sebagian telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat.

Aktivitas ekonomi di lahan gambut umumnya dilakukan oleh masyarakat dengan membuat saluran drainase untuk menurunkan muka air tanah. Hal tersebut dilakukan agar tanah gambut bisa diakses dan dimanfaatkan.

Namun, praktik tersebut seringkali membuat lahan gambut menjadi kering dan rentan terhadap kebakaran, yang berakibat pada meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK).

Kepala Balai Pengujian Standar Instrumen Tanah dan Pupuk Kementerian Pertanian, Ladiyani Retno Widowati menekankan, kebakaran dan penurunan luas lahan menjadi faktor utama meningkatnya emisi gas rumah kaca.

“Dampak terjadi penurunan lahan atau subsidence serta meningkatnya emisi GRK adalah dampak dari praktik ini,” ujarnya dalam pidato kunci Ekspose Nasional Pahlawan Gambut - Terus Jaga Gambut dengan tema "Rekam Jejak Peningkatan Pengelolaan Lahan Gambut dan Kapasitas Pemangku Kepentingan di lndonesia melalui Peat-IMPACTS" pada Selasa, 12 November 2024 lalu di Jakarta.

Dia menjelaskan, Indonesia telah berkomitmen dengan menetapkan target ambisius dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030.

Sebagai langkah nyata, lanjutnya, pemerintah berupaya mengurangi deforestasi, mencegah kebakaran, dan memperkuat tata kelola gambut dengan mendirikan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Upaya ini juga didukung oleh kolaborasi Kementerian Pertanian bersama dengan International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan BRIN dalam proyek “Improving the Management of Peatlands and the Capacities of Stakeholders in Indonesia” (Peat-IMPACTS Indonesia).

Proyek ini, yang berlangsung sejak 2020, dilakukan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat untuk mendukung target NDC melalui pengelolaan lanskap gambut yang baik dan penguatan kapasitas petani, melalui berbagai pelatihan dan praktik-praktik budidaya pertanian.

Melalui sambutannya, Direktur ICRAF Program Indonesia, Andree Ekadinata mengapresiasi kolaborasi para pihak dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

“Peat-IMPACTS bertujuan memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan dan menciptakan solusi nyata untuk pengelolaan  gambut yang adaptif dan berkelanjutan,” ujarnya.

Dia juga menyoroti pentingnya keterlibatan berbagai level pemerintahan dan masyarakat lokal untuk mendukung keberhasilan proyek ini.

Peran penting ekosistem gambut

Ekosistem gambut Indonesia, dengan luas Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) mencapai 24 juta hektar, memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global.

Ekosistem gambut memiliki fungsi penting dalam menyimpan karbon, mengatur hidrologi, serta mendukung keanekaragaman hayati. Namun, pengelolaan yang tidak berkelanjutan seperti drainase berlebihan dapat menyebabkan kebakaran yang melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah besar, mengakibatkan perubahan iklim, polusi udara, dan kerugian ekonomi.

Dalam hal ini, Kepala Bidang Iklim & Lingkungan Kedutaan Besar Jerman, Maike Elizabeth Lorenz turut menekankan pentingnya dukungan internasional dalam pengelolaan ekosistem gambut.

“Komitmen kami untuk mendukung Indonesia dalam memperkuat kapasitas dan kolaborasi lintas sektor bertujuan untuk perlindungan ekosistem gambut, yang menjadi langkah konkret mendukung target iklim global,” kata dia.

Menurutnya, penjagaan lahan gambut perlu ditingkatkan, sebab kondisi lahan gambut yang dinamis dan beragam menimbulkan ketidakpastian dalam perhitungan emisi gas rumah kaca.

"Kondisi lahan gambut yang dinamis dan beragam menimbulkan ketidakpastian dalam perhitungan emisi gas rumah kaca. Karena itu, diperlukan pengukuran intensif dalam periode lebih dari satu tahun untuk memperoleh data yang akurat,” katanya.

Maike menyatakan bahwa penguatan kapasitas para pihak dalam pengelolaan gambut berkelanjutan adalah investasi jangka panjang untuk masa depan ekosistem. 

Dengan komitmen yang kuat dan dukungan dari berbagai pihak, dia yakin Indonesia mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim global. (*)

Tombol Google News

Tags:

Icraf gambut emisi gas rumah kaca lahan kementerian Pertanian