“Konflik anggaran” antara DPRD dengan eksekutif telah terjadi dalam pembahasan Rancangan Perubahan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) P-APBD 2023 Nota Keuangan Raperda P-APBD 2023.
Pemberitaan “konflik anggaran” tersebut ramai dibicarakan oleh banyak pihak di berbagai media massa, baik itu media cetak maupun elektronik. Seperti di Surat Kabar Bhirawa dua hari berturut-turut pemberitaannya tanggal 13 dan 14 September 2023 persoalan perbedaan pendapat antara ada tidaknya selisih (perbedaan) belanja.
“Konflik anggaran” tersebut telah melibatkan berbagai opini. Tidak hanya antara DPRD dengan eksekutif (Sekda), namun melibatkan pihak publik yang cenderung tendensius diseret ke arah politik praktis yang tidak perlu terjadi
Atas terjadinya “konflik” anggapan perbedaan anggaran tersebut Sekda Provinsi Jawa Timur Adhy Karyono pada tanggal 13 September 2023 telah mengklarifikasi persoalan apakah ada perbedaan antara KUA PPAS dengan Nota Keuangan atau tidak. Dalam klarifikasinya Sekda mempersepsikan dengan memberi penjelasan bahwa “tidak ada perbedaan dan yang terjadi hanya perbedaan penafsiran”.
Di sisi lain Juru bicara Fraksi Gerindra DPRD Jatim Rohani Siswanto menyebutkan bahwa ”pernyataan Sekdaprov yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan itu suatu kenaifan di dalam berfikir”. Demikian pula Ketua Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) H Abdul Malik menyebutkan/ mensinyalir bahwa Sekda Prov Jawa Timur tengah melakukan manuver politik dan memastikan Sekda ada nuansa politik, karena mendekati pemilu 2024.
Bahkan menduga Adhy Karyono berkeinginan untuk menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Timur, bahkan meminta kepada seluruh fraksi DPRD Jatim agar menolak Adhy Karyono jika nantinya diusulkan menjadi Pj Gubernur Jatim dan ia meminta agar Sekda Provinsi diganti.
Tulisan ini tidak membahas siapa yang benar dan siapa yang salah, semua pihak mempunyai argumen pembenar masing-masing. Tulisan ini mengetengahkan pertanyaan sebagai berikut. Apakah ada motif politik dalam “konflik anggaran” dalam menentukan KUA PPAS P-APBD 2023 Nota Keuangan Raperda P-APBD 2023 tersebut? Apa yang menjadi faktor terjadinya “konflik kepentingan” dalam kasus tersebut?
Motif Politik
Konflik yang dimaksudkan dalam tulisan ini lebih ditekankan pada perbedaan, pertentangan pendapat. Dalam teori klasik menyatakan bahwa sumber kekuasaan terbatas akan menimbulkan konflik (Ramelan, 20). Dalam konteks konflik persoalan perbedaan pandangan mengenai Rancangan Perubahan KUA PPAS P-APBD 2023 Nota Keuangan Raperda P-APBD 2023, bisa ditarik ke belakang dengan kasus pemilihan Sekda yang cukup ramai dengan penuh pertentangan.
Memang kemungkinan besar ada benarnya kalau kita runut ke belakang proses pemilihan Sekda yang belum lama ini. Jabatan Sekda Provinsi merupakan jabatan karier tertinggi yang mempunyai kewenangan/kekuasaan tertinggi di birokrasi pemerintah Provinsi. Dalam proses pemilihannya persaingan ketat mulai dari verifikasi administrasi, asesmen, policy brief dan interview dll.
Apa yang diungkapkan oleh Abdul Malik (14/9/2023) yang meminta kepada seluruh fraksi DPRD Jatim agar menolak apabila Adhy Karyono nantinya diusulkan menjadi PJ Gubernur Jatim, apalagi sampai meminta kepada Gubernur agar Sekda Karyono diganti dapat dianalisis dengan berbagai sudut pandang.
Dari sisi kekuasaan dapat dianalisis dengan teori Harmen Batubara (2013) bahwa konflik atau perselisihan adalah bentuk persaingan berlebihan tidak kesesuaian kondisi sumber daya terbatas. Dalam konteks kekuasaan, bahwa jabatan Sekda Provinsi merupakan jabatan yang strategis, langka dan terbatas yang pasti menjadi rebutan dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Hal ini menunjukkan muatan politik dalam kasus konflik anggaran tersebut. Patut diduga ada motif politik yang merupakan pesan sponsor yang kemungkinan disebabkan atas kekecewaan karena kekalahan dalam persaingan Sekda Provinsi Jatim tempo hari. Atau dapat pula dianalisis dengan teori Maslow (2013) tentang kebutuhan manusia akan penghargaan dari orang lain.
Bila melihat kebutuhan manusia akan penghargaan bisa saja dalam tahun politik yang hingar-biar semakin memanas dalam rangka mencari ketenaran dan memanfaatkan panggung politik agar eksistensi dirinya diakui, dihargai oleh publik. Atau bisa juga kemungkinan ada agenda-agenda politik kelompok lain yang tidak senang, dan tidak objektif dalam menilai suatu peristiwa.
Kondisi ini ada benarnya jika merujuk teori konflik klasik dalam kategori bentuk konflik non realistis Lewis A. Coser (2017) bahwa lawan politik melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Bentuk pengkambinghitaman berupa Rancangan Perubahan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara(KUA PPAS) P-APBD 2023 Nota Keuangan Raperda P-APBD 2023 sebagai alat politik, padahal belum tentu kebenarannya dan belum diuji apakah hal itu salah atau tidak salah, benar atau tidak benar.
Akrobat Politik
Dalam proses politik di arena lembaga politik banyak faktor yang ikut menentukan dalam kasus “konflik anggaran”, belum tentu apa yang terjadi itu menunjukkan apa yang sebenarnya. Banyak kepentingan politik di dalamnya, bisa saja dalam rangka untuk menggolkan tujuan politiknya, mereka bernegosiasi.
Dalam bernegosiasi diperlukan akrobat politik yang seolah-olah kebenaran telah terjadi pada proses politik dan ingin menunjukkan pada publik bahwa dirinya eksis, termasuk dalam proses anggaran. Dalam menentukan suatu anggaran terjadi “konflik” kepentingan merupakan hal biasa dalam proses politik, dengan tujuan agar semua kepentingan diakomodir oleh birokrasi dan semua pihak.
Dalam banyak kasus bahwa kadang-kadang para politikus untuk mencapai tujuan politiknya mereka tampil beda dengan penuh kepura-puraan, dengan menghalalkan segala cara, seperti diungkapkan dalam teori Machiavelli (1532) “untuk memperoleh kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan”. Atau bisa juga dalam rangka memenuhi kebutuhan penghargaan (Maslow:2013) agar diakui oleh publik, mereka berakrobat politik seolah merekalah yang benar dan seolah-olah membela kepentingan publik.
Hal sangat biasa dalam dunia politik untuk mencapai tujuan politik kekuasaan, banyak politikus untuk memperoleh kekuasaannya bertopeng kebenaran (mudah-mudahan hal ini tidak terjadi pada politikus Indrapura). Dalam menghadapi berbagai kasus, agar dalam proses politik di lembaga politik lebih fairly dan publik tidak disuguhi akrobat politik dengan topeng-topeng kebenaran yang dapat menyesatkan publik ke arah distrust.
Oleh karena itu diperlukan keseimbangan, DPRD dapat merekrut tenaga-tenaga profesional di bidangnya, seperti bidang legal drafting, politik, hukum dll) yang benar-benar mempunyai kualifikasi kompetensi yang tinggi. Tentunya untuk birokrasi sudah siap dan berpengalaman dengan memaksimalkan peran biro hukum dan biro-biro lain serta OPD untuk berkolaborasi dan bersinergi secara baik.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.
*) Prof. Dr. Irtanto, M.Si merupakan Peneliti Ahli Utama bidang Politik dan Pemerintahan
**) Karikatur by: Rihad Humala/Ketik.co.id
***) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi