Membawa Popular Control pada Ruang Digital Demi Terwujudnya Pemilu Berintegritas

Editor: Mustopa

4 Maret 2024 00:35 4 Mar 2024 00:35

Thumbnail Membawa Popular Control pada Ruang Digital Demi Terwujudnya Pemilu Berintegritas Watermark Ketik
Oleh: Khoirul Anam, S.H*

Kemajuan teknologi dan informasi membuat ruang digital telah menjadi salah satu aspek penting dalam memaknai proses demokratisasi.

Dave (2008) menjelaskan bahwa ruang digital yang berbasis pada kekuatan internet harus dihubungkan dengan kebebasan demokrasi karena telah merubah perilaku masyarakat dari pembaca konten menjadi pembuat konten.

Dalam konteks politik, ruang digital memiliki sumbangsih yang besar sebagai ladang kampanye, sosialisasi, serta pendidikan politik karena bisa dijangkau banyak orang serta penyebaran yang cepat tanpa membutuhkan biaya yang besar.

Kendati demikian, menurut Siregar (2019) ruang digital kerapkali dimanfaatkan sebagai alat propaganda yang destruktif seperti black campaign, hoax, hate speech, bullying, serta isu sara.

Berdasarkan data yang dirilis Bawaslu, pada pemilu 2019 setidaknya terdapat 610 laporan atas konten yang berkaitan dengan bentuk-bentuk propaganda destruktif.

187 konten telah dilaporkan kepada masing-masing platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube untuk dilakukan take down. Bahkan Bawaslu memberikan rekomendasi kepada Kemenkominfo untuk menutup situs yang tidak melakukan take down.

Melihat perkembangan dunia digital saat ini, penulis melihat dari dekat dinamika Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 pada aspek penggunaan media digital, yang mana pemilu 2024 intensitas penggunaan ruang digital sebagai media kampanye politik akan semakin tinggi.

Maka sebagai bentuk kontrol publik, gagasan Beetham (1999) tentang popular control harus dioperasionalisasikan ke dalam ruang digital.

Popular control merupakan intisari dari demokrasi, di mana indeks demokrasi tidak hanya dinilai dari statistik jumlah suara sah pada pemilu melainkan penilaian demokrasi harus dilihat dari tingkat keterlibatan publik dalam setiap rangkaian politik.

Keterlibatan yang dimaksudkan meliputi tiga aspek yakni pra pemilu yang berkaitan dengan semua proses menjelang pemilu seperti sosialisasi dan kampanye. Pemilu, berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan suara hingga penetapan.

Pasca pemilu, berkaitan dengan jalannya pemerintahan agar tetap sesuai ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku. 

Lalu bagaimana peran popular control terhadap Pemilu yang akan datang?

Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 dalam Pusaran Ruang Digital

Praktisnya, popular control bertujuan untuk meminimalisir adanya propaganda destruktif pada ruang digital dalam setiap rangkaian pemilu.

Kalau kita melihat jauh pada dinamika Pemilu 2019, Bawaslu RI dalam websitenya, setidaknya mencatat terdapat kurang lebih 15 ribu pelanggaran Pemilu yang dilakukan melalui paltform digital.

Pelanggaran tersebut terdiri dari Pidana Pemilu, pelanggaran Administrasi, pelanggaran Kode etik dan Pelanggaran Pemilu lainnya sehingga Bawaslu harus berkoordinasi dengan Kominfo terkait hal tersebut. 

Pada tahun 2018, satu tahun sebelum Pemilu 2019 diselenggarakan, Bawaslu juga telah mencatat sebanyak 1.990 aduan atau laporan kampanye bermasalah yang beredar di media sosial terhitung 23 September 2018 hingga 12 Februari 2019.

Bawaslu telah mengkaji 159 aduan akun yang diduga melakukan pelanggaran pemilu. Sebanyak 21 akun medsos di antaranya terbukti bersalah dan telah diblokir oleh penyedia platform. 

Pada pemilu 2019, survei Mastel menunjukkan ada tujuh model hoaks yang beredar. Antara lain hoaks model tulisan 70,7 persen, foto editan 57,8 persen, foto dengan caption palsu 66,3 persen, video editan (Dubbing palsu) 32,2 persen.

Kemudian, video editan (Dipotong-potong) 45,70 persen, video dengan caption narasi palsu 53,2 persen, dan hoaks berita atau foto maupun video lama yang diposting kembali 69,20 persen (Zainuddin Muda dkk., 2023).

Kita juga melihat data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo),yang mana Kominfo juga memaparkan bahwa terdapat 9.814 temuan isu hoaks seluruh kategori pada Agustus 2018 hingga April 2022.

Sedangkan, 922 isu hoaks ditemukan pada rangkaian Pemilu 2019, dengan 557 kasus di antaranya ditemukan pada Maret hingga Mei 2019 yang merupakan masa puncak pemilu.

Pada Pemilu tahun 2024, Dinamika tersebut tidak bergeser terlalu jauh, hampir sebagian polanya sama dengan Pemilu 2019, Kominfo mencatat terdapat 2882 konten hoaks yang beredar di Media sosial, Facebook dan Instagram dilaporkan memiliki 1.325 konten dan 198 konten hoaks terkait pemilu.

Adapun platform lain yang juga ditemukan banyak hoaks pemilu adalah X/Twitter sebanyak 947 konten. Berikutnya ada TikTok 342 konten, Snack Video 36 konten, dna 34 konten pada Youtube. Jumlah tersebut terus bertambah pada Desember 2023 dan Januari 2024 menjelang Pemungutan suara. 

Data tersebut sangat jelas data-data yang telah dilaporkan atau diadukan kepada Kominfo, namun kita tahu bersama bahwa Media sosial kita sangat rumit untuk dikontrol.

Sebutlah di Aplikasi X yang marak saling serang antar pengguna X dengan narasi-narasi negatif dan berita bohong yang mempengaruhi jalannya Pemilu yang berintegritas, termasuk juga polling-polling yang menggerakkan sekelompok pendukung untuk memastikan opini Publik berpihak pada calon yang didukungnya.

Keterlibatan Publik sebagai Popular Control dalam Pemilu Mendatang

Sebagai intisari dari negara Demokrasi, publik juga perlu melihat secara jelas bahwa apa yang ditampilkan para pelaku pemenangan saat ini merupakan hal yang tak perlu diwariskan untuk pemilu yang akan datang, bilamana dinamika ini terus dibiarkan tanpa ada control, maka lambat laun demokrasi kita akan terus mengalami degradasi. 

Rangkaian atau tahapan pemilu kita tidak melulu berbicara elektoral, siapa mendapatkan suara berapa, tapi lebih jauh dari itu tentang pendewasaan laku demokrasi kita.

Data-data di atas sejak tahun 2019 hingga 2024 sangat nyata merusak ruang digital yang saat ini menjadi satu-satunya pusat perhatian masyarakat Indonesia.

Kita seolah dibuat bingung dengan perilaku saling membusukkan, intimidasi, caci maki yang kesemuanya itu justru kemunduran bagi laku demokrasi Indonesia. Demokrasi bukan berarti bebas tanpa batas yang mana tiap hari orang bertengkar tanpa mengetahui apa yang dipertengkarkan.

Oleh karena itu, keterlibatan publik juga perlu dibekali oleh beberapa aspek pengetahuan, khususnya aspek hukum. Aspek ini perlu melibatkan pemerintah dalam mensosialisasikan pentingnya melakukan pencegahan.

Kita punya UU ITE yang mana batasan-batasan yang perlu publik paham dalam menggunakan ruang digital yang bijak. Sehingga dengan demikian, ke depan apa yang dimunculkan oleh pegiat digital bukan lagi soal siapa yang lebih lantang melakukan pembusukan, tapi sudah lebih kepada saling menghargai satu dan lainnya agar tercipta Pemilu yang berintegritas.

*) Khoirul Anam, S.H. adalah Pemantau Pemilu Independen Bawaslu RI di Rumah Pemberdaya Indonesia (RPI)

 **) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Pemilu Khoirul Anam Bawaslu RI Popular control