Lidah dan Kopi

Editor: Mustopa

27 Mei 2024 07:25 27 Mei 2024 07:25

Thumbnail Lidah dan Kopi Watermark Ketik
Oleh: Jos Rizal*

Lidah kucing, lidah mertua, penjilat lidah, lidah buaya, lidah api, dan lidah-lidah lainnya adalah frasa dan majas dalam khazanah Bahasa Indonesia yang terinspirasi dari lidah; salah satu indera manusia.

Penggunaan embel-embel lidah tak serta-merta hadir begitu saja. Para pendahulu kita memiliki catatan tersendiri tentang kehebatan dari indera pengecap ini. Salah satunya dalam hal mencecap rasa. Termasuk bagaimana indera pengecap tersebut mampu memberikan pengalaman seru bagi mereka si penggunanya, terutama dalam mencerna kekayaan rasa dalam secangkir kopi.

Saat seseorang mampu menggunakan indera yang satu ini dengan maksimal, ia akan bertamasya ke daerah-daerah di mana sebuah kopi berasal. Sebelum kopi itu diseduh kemudian hadir dalam genggaman si penikmat. Tak pelak, dalam kalangan penikmat kopi saat ini muncul beberapa istilah yang dapat menggambarkan betapa kopi-kopi itu memiliki rasa dan aroma, yang berbeda, yang kaya. Misalnya, karakteristik kopi Aceh Gayo tentu berbeda dengan Bali Kintamani yang fruitty. Hal yang sama juga terjadi pada kopi impor asal Vietnam, Kolombia, Ethiopia dll

Kopi masuk ke Indonesia awal 1696 oleh para pedagang timur tengah. Lama kelamaan, masyarakat dan pemerintah kolonial mulai tertarik dengan kopi. Pasca 1696, pemerintah Hindia-Belanda membawa bibit kopi dari Malabar, India, ke Jawa, bibitnya dari Yaman. Seorang gubernur Belanda yang bertugas di Malabar mengirimkan bibit ini kepada rekannya di Batavia yang saat ini disebut Jakarta.

Kopi ini kemudian dikenal sebagai kopi Malabar yang banyak tumbuh di Jawa Barat. Hingga 1706 pemerintah Hindia-Belanda terus menguji coba kopi-kopi ini. Fokusnya pada pembibitan dan penyebarluasan biji kopi ke luar Jawa seperti; Aceh, Bali, Sulawesi, Sumatera, hingga Nusa Tenggara. Mereka belum sadar bahwa meskipun biji kopi yang ditanam dilakukan terhadap varian yang sama, hasilnya dapat berbeda-beda lengkap dengan aromanya.

Kendati pemerintah Belanda saat itu memonopoli perdagangan kopi dunia sejak 1725 hingga 1780, karakteristik aroma dan rasa kopi belum mengemuka. Obrolan cita rasa kopi mengemuka di kalangan tertentu saja. Terutama di kalangan gubernur dan pelancong di jalur sutra yang menyeruput kopi yang berasal dari banyak tempat.

Pelancong yang satu berkata pada pelancong lainnya bahwa ia pernah menyeruput kopi dengan cita rasa berbeda dibandingkan tempat-tempat lain yang pernah ia kunjungi. Pengalaman-pengalaman yang demikian kemudian menjadi gosip tak terbendung, akan tetapi menjadi obrolan yang semakin asik dibicarakan dalam sebuah pertemuan atau dalam kedai-kedai kopi.

Subjektifitas rasa dalam kopi inilah yang kemudian melahirkan Coffee Brewing Institute di Amerika Serikat pada 1952. Dr E. Lockhart, seorang profesor bidang ilmu makanan di MIT menjadi direktur utamanya saat itu.

Sejak 1952 hingga 1964 ia mengumpulkan banyak data terkait kopi, termasuk kekayaan rasa dan aromanya dari seluruh dunia dengan mempertimbangkan berbagai faktor.  

Ia berhasil menggandeng ilmu pengetahuan, pelaku usaha pertanian, dan industry agar bekerjasama dan saling memahami kompleksitas dari kopi.

Pengetahuan-pengetahuan tentang kopi yang ditemukan Dr Lockhart ini memiliki banyak pengagum. Salah satunya Ted R. Lingle, yang kemudian mengembangkan Coffee Conductivity Meter pada pertengahan 1975. Sebuah instrumen elektronik yang digunakan untuk mengukur padatan terlarut dalam minuman kopi.

Kegilaan Lingle pada kopi tak berhenti sampai di sana. Ia bersama kawan-kawannya dalam Specialty Coffee Association of America (SCAA) kemudian mempelopori hadirnya Coffee Wheel / Coffee Taster’s Flavor Wheel pada 1995. Tujuannya; memberi panduan bagi para penikmat, mengevaluasi kopi, dan mengidentifikasi defect atau rasa tak diinginkan dalam sebuah kopi.

Lingle tak berhenti sampai di sana. Dalam buku berjudul The Coffee Brewing Handbook yang terbit pada 1996, ia menyebutkan bahwa upayanya dalam mengembangkan keilmuan dalam kopi mendapatkan kritik yang tajam dari pencinta kopi dan maniak ilmu pengetahuan dalam bidang makanan dan minuman. Alhasil, Pada 2016 Flavor Wheel atau roda rasa kopi mendapatkan revisi dari lembaga riset kopi dunia atau World Coffee Research. Roda rasa ini yang kemudian banyak digunakan sampai sekarang.

Dr Mario Fernandez, salah satu ahli dari Specialty Coffee Association, menyebutkan bahwa flavor wheel atau roda rasa saat ini memiliki peran penting. Salah satunya dalam manajemen dan quality control. Kendati demikian, menurut Fernandez, beberapa ahli dalam industri kopi mengemukakan bahwa alat ukur ini masih subjektif dan membingungkan.

Pada Desember 2022, The ASEAN Coffee Institute mempublikasikan ASEAN Flavor Sphere karena dianggap ada beberapa rasa dalam Flavor Wheel SCA yang terbit pada 2016 belum seluruhnya merepresentasikan aroma dan rasa pada sebuah kopi. Artocarpus heterophyllus dari keluarga moreceae atau yang biasa kita sebut nangka atau jackfruit misalnya.

Buah ini tak dapat ditemukan pada negara empat musim sehingga para professional yang belum pernah mencecap aroma dan rasa ini tak mungkin menemukannya dalam sebuah kopi yang tumbuh di asia, terutama negara-negara ASEAN. Hal sebaliknya juga terjadi pada negara dua musim. Aprikot misalnya, buah ini jarang ditemui di negara sabuk kopi atau coffee belt. Negara-negara utama penghasil kopi dunia yang mayoritas tidak jauh terletak dari garis khatulistiwa.

Hal ini yang membuat sebagian profesional berpendapat bahwa roda rasa kopi atau flavor wheel yang ada saat ini sangatlah subjektif. Dalam hal lain, para pencinta kopi di Indonesia mencatat bahwa rasa biji kopi yang masih keluar dalam kopi disebut sebagai fermentasi yang  positif dan menjadi cita rasa tersendiri bagi sebuah kopi.

Sementara Le Nez du Vin, salah satu perusahaan pengembang aroma anggota SCA, menyebut rasa dan aroma kopi biji yang baru difermentasi sebagai rasa defect atau sebuah kekurangan yang keluar dari sebuah kopi setelah diseduh. Hal ini mengundang perdebatan sampai sekarang.

Penting untuk bekerjasama mengembangkan roda rasa kopi, minimal di tingkat regional. Persamaan rasa sangatlah subjektif , sensitifitas indera pencecap tiap-tiap orang juga demikian. Dan flavour wheel tak lebih dari sebuah panduan menyamakan persepsi, sebuah bahasa universal kekayaan rasa sebuah kopi.

Flavor wheel membantu kita menyamakan bahasa dari hal-hal yang mampu dipindai oleh lidah, indera pengecap manusia. Karena mencecap kopi, berarti mencecap keberagaman mengingat kopi berasal dan tumbuh dari kondisi yang beragam.

*) Jos Rizal adalah penikmat kopi dan penulis. Dapat ditemui di @jo_jose_rizal

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

essaykopi rodarasakopi kopikintamani