Bijak dan Cara Melawan Bias Kognitif Seputar Perbedaan Idul Adha

Editor: Naufal Ardiansyah

27 Juni 2023 09:44 27 Jun 2023 09:44

Thumbnail Bijak dan Cara Melawan Bias Kognitif Seputar Perbedaan Idul Adha Watermark Ketik
Oleh: Sholehuddin*

Idul Adha 1444 H sudah hampir dipastikan berbeda tanggal dan hari. Jika pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) serta sebagian ormas lain secara resmi menetapkan Idul Adha pada 29 Juni 2023, Muhammadiyah sudah menetapkan jatuh pada Rabu, 28 Juni 2023. 

Bagi masyarakat awam yang jaih dari hiruk pikuk jagat maya mungkin justru dianggap biasa-biasa saja. Tidak bagi para warga net. Narasi yang berpotensi memecah belah umat masih saja dijumpai. 

Salah satu postingan menarasikan misalnya, "Idul Adha tidak boleh beda tanggal". Ada lagi, "Ini sebab Hari Raya Idul Adha tidak boleh ada perbedaan". Narasi semacam ini tendensius yang bisa memicu sentimen kelompok. Bagi masyarakat cerdas tentu tidak akan terprovokasi. Minimal tidak merespon postingan seputar hari Idul Adha yang bersifat subyektif. 

Salah satu tantangan keagamaan adalah berkembangnya klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama. Sementara tafsir agama belum final. Inilah yang bisa memicu konflik atas nama agama. 

Mensikapi hal itu diperlukan sikap bijak dalam beragama. Bijak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bertindak sesuai dengan pikiran, akal sehat sehingga menghasilkan perilaku yang tepat, sesuai dan pas. Orang bijak dikenal dengan orang yang arif dan memiliki pikiran jernih. Berlaku bijak tidak mudah bagi orang yang yang asal 'pokoe'. 'Pokoe' dalam bahasa yang populer disebut egosentris. 

Egosentris akan mengabaikan kebenaran dan mengingat keburukan orang atau pihak lain yang tidak sejalan. Sikap menyepelekan dan merendahkan orang lain adalah akibat ego. Egosentris akan menyebabkan bias kognitif, membutakan pengetahuan kita.

Ada enam bias kognitif yang perlu diwaspadai. Pertama egocentric memory, yaitu kecenderungan melupakan bukti dan informasi yang tidak mendukung pendapat kita dan mengingat bukti dan informasi yang mendukung. 

Cara menghadapi ego ini dengan mencari bukti dan infornasi yang tidak mendukung pendapat kita. Jika tidak ditemukan, asumsikan bahwa kita belum mencarinya secara benar. Jika ada penjelasan Idul Adha tangggal 28 Juni, maka cari pula penjelasan yang tanggal 29 Juni dan sebaliknya. 

Kedua egocentric myopia, kecenderungan 'absolutis' dalam sudut pandang yang sempit. Jika kita merendahkan dan menyalahkan pihak yang berbeda, maka berpikirlah menjadi pihak yang disalahkan dan direndahkan. Jika kita mau merendahkan yang tanggal 28, maka berpikirlah jika kita yang direndahkan dan sebaliknya.

Ketiga Egocentric Righteosnes, yaitu kecenderungan merasa lebih baik karena yakin benar, padahal belum tentu benar.  Bahwa ijtihad bisa benar bisa salah, maka kita tidak boleh menganggap tanggal 28 Juni yang paling benar atau sebaliknya yang 29 Juni yang paling benar, karena keduanya hanyalah produk 'ijtihad'. Meyakini dan mengikuti yang benar harus, tetapi menilai yang orang lain salah itu yang tidak boleh.

Keempat, egocentric Hipocrisy yaitu kecenderungan alami yang tidak menghiraukan inkonsistensi. Misalnya, apa yang diputuskan atau dilakukan pihak lain dinilai tidak pernah dilakukan Nabi, sementara kita sendiri melakukan hal sama tapi tidak disadari. Dengan kata lain kita menggunakan standar ganda. 
 
Kelima, egocentric oversimplifacation yaitu kecenderungan alamiah menyederhanakam masalah dengan memilih yang simplistik jika yang kompleksitas harus mengubah pandangannya. Merendahkan pihak lain yang tidak sejalan dianggap sederhana, padahal agama melarang. "Jangan satu kaum mencela kaum lain, karena bisa jadi kaum yang dicela itu lebih mulia dari kaum yang mencela". 

Maka, yang idul Adha 28 Juni tidak boleh mencela yang 29 Juni, dan sebaliknya yang 29 tidak boleh mencela yang 28 Juni. Saling mencela bukan masalah sederhana, selain bertentangan degan esensi agama, juga bisa menimbulkan perpecahan.

Keenam, egocentric blindnes yaitu kecenderungan alamiah yang tidak memerhatikan fakta dan bukti yang berlawanan dengan kepercayaan dan nilai-nilai kita. Caranya dengan mencari fakta dan bukti lain.

Karena itu diperlukan tangga penyimpulan (ladder of inference) melalui tahap seleksi data, memaknainya, asumsi, kesimpulan dan keyakinan. Agar kesimpula kita lebih obyektif, kita perlu melakukan refleksi belajar dan putaran refleksi. Diperkuat dengan pengalaman nyata, bisa jadi apa yang kita alami, dan pelajari berbeda dengan apa yang dipelajari dan dialami orang lain. Teori, dasar dan pendekatan berbeda akan menghasilkan keputusan berbeda. 

Maka untuk memperkuat sikap bijak kita, manakala ada suara penghakiman, kita harus membuka pikiran dengan memperbanyak referensi, membandingkan sumber yangvsatu dengan yang lain. Jika ada suara sinis dan kebencian, bukalah hati. Bahwa yang kita benci sejatinya saudara kita. Yang kita benci pasti ada kebaikannya. 

Nabi berpesan, "Cintailah kekasihmu sewajarnya, karena bisa jadi yang kau cintai pada saatnya menjadi yang kau benci. Sebaliknya, bencilah orang yang kau benci sewajarnya, karena bisa jadi yang yang kau benci pada saatnya menjadi yang kau cintai".

Jika ada suara ketakutan, bukalah dengan tekad dan keberanian untuk mengakui kekurangan diri dan mengakui kebaikan oang lain. Inilah sikap mukmin sejati, memandang orang lain dengan positif (husnuzan). 

Orang-orang yang bijak memandang segala sesuatu dengan kaca mata orang lain, bukan memaksakan diri dengan kaca matanya. Inilah yang disebut Tiga Suara Tiga Keterbukaan.

Akhirnya, jatuh pada kesimpulan, bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Perbedaan adalah rahmat. Mari kita nikmati rahmat ini seraya kurban dan bakar sate kurban bersama-sama walaupun Idul Adhanya beda. Selamat Idul Adha 1444 H. 


*) Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I adalah Widyaiswara BDK Surabaya, Sekretaris Komisi Fatwa DP MUI Sidoarjo, Ketua ISNU Sidoarjo, Dosen IAI Al Khoziny dan Unusida. Saat ini mendapatkan tugas sebagai Instruktur Nasional Moderasi Beragama.

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek

Panjang naskah maksimal 800 kata

Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP

Hak muat redaksi

Tombol Google News

Tags:

Sholehuddin Idul adha Perbedaan Idul Adha Perbedaan NU dan Muhammadiyah