Tilang Uji Emisi, Perlukah?

Editor: Mustopa

30 November 2023 11:40 30 Nov 2023 11:40

Thumbnail Tilang Uji Emisi, Perlukah? Watermark Ketik
Oleh : Afif Mustafid Taftazani*

Beberapa waktu yang lalu, heboh berbagai keberatan masyarakat atas diberlakukannya tilang uji emisi di Jakarta. Masyarakat berkeberatan diberlakukannya sangsi tilang dikarenakan minimnya sosialisasi sehingga tidak ada persiapan untuk uji emisi kendaraan. Pertanyaannya, perlukah sangsi tilang bagi kendaraan tidak lolos uji emisi?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, akan dianalisis beberapa parameter yaitu indentifikasi indikator penting, selection, pikiran pemangku kepentingan dan penetapan tujuan, serta bagaimana penanganannya. 

Identifikasi Indikator Penting

Identifikasi indikator penting terkait polusi udara harus dilakukan dengan mendalam, terukur dan detail. Berikut beberapa identifikasi indikator kunci.

Identifikasi indikator pertama adalah menentukan tingkat polusi Udara Jakarta. Berdasarkan peraturan Menteri KLHK No 14 Tahun 2020, katagori angka rentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) seperti disajikan pada table berikut ini.

Berdasarkan data realtime IQAir (www.iqair.com), tingkat pencemaran udara di DKI Jakarta didominasi kategori tidak sehat, meskipun di sebagian kecil wilayah masuk kategori sedang. Kategori tidak sehat masuk kelompok sensitive yaitu boleh melakukan aktivitas di luar, tetapi mengambil rehat lebih sering dan melakukan aktivitas ringan. Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan bahwa kualitas udara di DKI Jakarta perlu mendapat perhatiann khusus.

Indikator kedua adalah dengan memilah sumber yang berkontribusi terhadap pencemaran udara, yaitu berapa persen kontribusi polusi dari kendaraan, industry (pabrik, PLTU, pengolahan, dll), atau dari sumber lainnya. Selain itu perlu juga dipetakan tingkat pencemaran udara berdasarkan wilayah-wilayah sehingga diketahui hubungan tingkat pencemaran dengan karakteristik wilayah (pemukiman, perkantoran, industry, wilayah padat kendaraan, dll). Terkait sumber emisi dari kendaraan, perlu dianalisis apakah ada perbedaan pengaruh penggunaan jenis bahan bakar (pertalite vs pertamax, dexlite vs pertamax dex) terhadap kontribusi penurunan kualitas udara? Data-data ini penting untuk menentukan arah kebijakan perbaikan kualitas udara DKI Jakarta. 

Indikator ketiga adalah mengukur daya dukung lingkungan di DKI Jakarta saat ini terkait ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH). Berapa luas RTH saat ini, berapa rasio RTH yang ideal, berapa gap antara luas RTH saat ini dengan luas RTH ideal. 

Indikator keempat adalah terkait kasus gangguan Kesehatan. Ada berapa banyak gangguan kesehatan terkait polusi yang dilaporkan? Dari jumlah laporan, berapa banyak yang mengalami gejala ringan, sedang, berat dan bahkan kematian? Data ini penting untuk mengukur tingkat kegawatan kualitas udara dan korelasinya terhadap dampak Kesehatan.

Indikator kelima, setelah divonis sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia, Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan kota bisnis, perlu juga diukur dampak kualitas udara terhadap aktifitas bisnis dan investasi. Apakah berdampak besar atau malah tidak signifikan pengaruhnya. Ukurannya bisa dilihat dari naik turunya nilai investasi, perputaran keuangan pada aktivitas bisnis ataupun index harga saham di bursa dalam kaitanya dengan kualitas udara di DKI Jakarta.

Indikator keenam, adalah kerangka waktu. Seberapa lama kondisi kualitas udara Jakarta dapat ditoleransi? Enam bulan, setahun, lima tahun atau 10 tahun? Toleransi waktu ini adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan kategori ISPU dari level tidak sehat saat ini menjadi satu level dibawahbya yaitu level sedang.

Indikator ketujuh adalah seberapa kuat penyampaian informasi terkait pencemaran udara ke masyarakat? Apakah masyarakat mudah mengakses indeks standar pencemaran udara (ISPU)? Berapa titik informasi ISPU di Jakarta? Apakah informasi ISPU diberikan secara real time 24 jam? Apakah masyarakat sudah teredukasi terkait bahaya pencemaran terhadap Kesehatan pada berbagai tingkat ISPU? Jika pertanyaan pertanyaan ini belum dapat dijawab 50% atau lebih masyarakat DKI Jakarta, artinya pesan dan komunikasi belum efektif tersampaikan.

Selection

Setelah indikator penting diidentifikasi, berikutnya kita perlu menganalisis exposur risiko. Berdasarkan ketujuh indikator diatas, kemudian dipilih mana indicator yang paling relevan dan paling critical berpengaruh terhadap kualitas udara di DKI Jakarta. Apakah salah satu, dua, atau bahkan ketujuh indicator tersebut sangat berpengaruh (tingkat korelasinya tinggi). Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan pengukuran secara kuatitatif sehingga diperoleh hasil dalam prosentase, angka, rupiah/dollar. Ukuran dalam satuan quantitative sangat penting untuk menentukan tingkat keparahan atau severity maupun tingkat probability/likelihood sehingga dapat ditentukan prioritasi penangannya. Angka dan data ini penting sehingga dapat dimonitor, dilaporkan untuk saat ini maupun diproyeksikan untuk waktu mendatang sehingga dapat ditentukan Langkah penanganan yang paling tepat.

Pikiran Pemangku Kepentingan dan Penetapan Tujuan

Pikiran pemangku kepentingan dan penetapan tujuan, harusnya ada list pertama dari tulisan ini. Namun ditempatkan di point ini karena keterbatasan informasi terkait apa yang dipikirkan, direncanakan, dan akan dilakukan oleh pemangku kepentingan. Sedangkan penetapan tujuan pun baik dalam bentuk narasi, komunikasi, publikasi tidak tersampaikan secara luas. Anggap saja bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah menurunkan satu level index ISPU dari katagori tidak sehat menjadi katagori sedang. Siapa pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan ini? Dalam ilmu manajemen risiko, penanggung jawab adalah pemilik risiko. Sedangkan berdasarkan peraturan Menteri KLHK No 14 Tahun 2020, disebutkan dalam hal ISPU berada pada kategori tidak sehat, sangat tidak sehat, atau berbahaya, maka penanggung jawab (yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai pemilik risiko) adalah Menteri, gubernur, dan bupati atau walikota. Berdaqsarkan peraturan Menteri tersebut, maka katagori ISPU tidak sehat di Jakarta adalah tanggung jawab Gubernur dan berkoordinasi dengan Menteri LHK. Terkait hal ini masyarakat berhak untuk mendengar, mengetahui, atau bahkan menguji pikiran Gubernur DKI Jakarta sebagai pejabat public dan pemilik risiko. Pikiran-pikiran tersebut dapat dituangkan dalam keputusan gubernur, instruksi gubernur, petunjuk pelaksanaan, implementasi program, pembentukan tim atau Langkah apapun dengan otoritasi langsung dari gubernur.  

Penanganan

Bagaimana penanganan polusi udara di DKI Jakarta? Untuk dapat mendefinisikan penanganan yang terbaik, Langkah pertama harus dapat mengumpulkan informasi, mengidentifikasi, menganalisis, menyeleksi indicator-indikator penting yang berpengaruh terhadap ISPU DKI Jakarta. Indikator-indikator yang tersebut harus dapat diukur, relevan, kritis berpengaruh dan urgent dalam kerangka waktu. Dikarenakan keterbatasan informasi terkait tujuh indicator kunci yang telah disebutkan diatas, maka sulit menentukan penanganan yang paling tepat sesuai dengan karakteristik DKI Jakarta. Atas keterbatasan ini, alternatif penanganan dapat dilihat dari benchmark negara-negara di dunia dalam mengatasi polusi udara. 

Sebagai gambaran China berhasil mengurangi jumlah partikel udara yang merugikan sebanyak 40% dalam kurun waktu tujuh tahun, sejak tahun 2013 hingga 2020, menurut studi berdasar pengukuran satelit yang dipublikasikan oleh Energy Policy Institute (EPIC) dari Universitas Chicago. Pada tahun 2013, Cina mencatat rara-rata 52,4 mikrogram per meter kubik partikel polutan PM2,5 atau sepuluh kali lebih banyak dari batas yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Maka pada akhir 2013, pemerintah setempat mengucurkan anggaran sebesar US$270.000.000 atau sekitar Rp4,1 triliun. Pemerintah Cina melarang pembangunan pembangkit listrik bahan bakar batu bara di hampir seluruh wilayah yang tercemar polusi udara, memaksa pembangkit listrik yang sudah ada untuk beralih ke bahan bakar gas alam, serta membatalkan rencana pembangunan 103 pembangkit listrik baru. Langkah lainnya, pemerintah Cina mengurangi kapasitas produksi besi dan baja hingga berkurang sampai 115 juta ton dalam jangka waktu 2016-2017, serta membatasi jumlah mobil di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, maupun Guangzhou dengan menerapkan kuota harian.

Kesimpulan

Kembali menjawab pertanyaan diawal tulisan ini, untuk mengatasi polusi udara DKI Jakarta apakah perlu diberlakukan tilang uji emisi? Jawabanya sederhana. Jika tujuan penurunan polusi udara didefinisikan dengan jelas. Jika pemangku kepentingan dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta dan Menteri KLHK mendeskripsikan pikirannya dengan jelas. Jika indicator-indikator kunci risiko polusi udara dikuantifikasikan dengan jelas. Jika program-program dan Langkah-langkah penanganan dilakukan dengan jelas. Maka tilang uji emisi perlu dilakukan. Bagaimana jika belum jelas? Maka jelas kebijakan tilang uji emisi tidak tepat dan tidak perlu diterapkan.

*) Oleh: Afif M Taftazani adalah dosen, pemerhati financial, valuasi, manajemen risiko

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek

Panjang naskah maksimal 800 kata

- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP

- Hak muat redaksi.

Tombol Google News

Tags:

opini