RUU KIA Disahkan, Dosen Unair Ungkap Sisi Positif dan Negatifnya untuk Kaum Ibu

Jurnalis: Shinta Miranda
Editor: M. Rifat

8 Juni 2024 09:11 8 Jun 2024 09:11

Thumbnail RUU KIA Disahkan, Dosen Unair Ungkap Sisi Positif dan Negatifnya untuk Kaum Ibu Watermark Ketik
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Primatia Yogi Wulandari. (Foto: Dok. Unair)

KETIK, SURABAYA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA).

Salah satu isinya mengatur ibu berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus dari tempatnya bekerja.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Primatia Yogi Wulandari menyambut baik adanya RUU KIA ini.

Menurutnya, ibu setelah melahirkan akan mengalami proses adaptasi baik secara fisik atau psikologis.

Primatia juga menambahkan, pemberian cuti akan membantu ibu dalam proses adaptasi tersebut tanpa terlalu terpengaruh oleh pikiran tentang beban dan tanggung jawab di tempat kerja.

Tidak hanya pada ibu, masa cuti tersebut juga akan dapat berdampak pada anak.

Primatia menjabarkan, cuti melahirkan selama enam bulan akan memberikan kesempatan terbentuknya kelekatan emosional antara ibu dan anak.

"Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa kelekatan emosional akan berdampak baik bagi perkembangan sosio emosional bagi anak,” katanya.

Foto Ilustrasi ibu dan anak. (Foto: Syaban Nugraha)Ilustrasi ibu dan anak. (Foto: Syaban Nugraha)

Meski demikian, kesejahteraan ibu akan ditentukan oleh berbagai faktor dan cakupan yang lebih luas.

Meski demikian, kesejahteraan ibu akan ditentukan oleh berbagai faktor dan cakupan yang lebih luas.

Salah satu faktornya adalah tempat bekerja. RUU KIA memang telah mengatur sedemikian rupa tentang hak dan kewajiban ibu yang sedang cuti melahirkan.

Namun, masih terdapat keraguan dalam penerapannya oleh karena itu, penerapan RUU KIA ini juga harus mendapatkan perhatian.

“Beberapa kasus di lapangan justru ibu diminta mengundurkan diri setelah mengajukan cuti melahirkan. Jika terjadi, hal ini akan membuat psikologis ibu menjadi kurang baik. Utamanya pada ibu yang menjadi tulang punggung keluarga,” jelasnya.

Selain itu menurut Primatia, RUU ini memiliki kesan bahwa fungsi pengasuhan utama ada pada ibu. Padahal seharusnya fungsi pengasuhan ada pada figur ibu dan ayah.

Primatia berharap dengan adanya RUU ini tidak menghilangkan peran ayah terhadap pengasuhan anak.

“Pengasuhan dalam keluarga menjadi timpang, bila ayah menjadikan kondisi ibu yang cuti melahirkan lebih lama sebagai alasan menyerahkan peran dan fungsi pengasuhan secara dominan kepada ibu,” ungkapnya.

Dalam hal ini Primatia berpesan kepada ibu untuk menikmati setiap momen dengan baik. Tidak apa jika emosi-emosi negatif muncul selama proses adaptasi setelah menjadi ibu, karena ini hal yang wajar.

Namun jangan ragu untuk meminta bantuan secara fisik, material, teknis, atau psikologis pada lingkungan terdekat. 

“Pastikan bahwa semua keputusan dan tindakan ibu tanpa adanya paksaan, serta telah dikomunikasikan bersama pasangan,” tuturnya. (*)

Tombol Google News

Tags:

RUU KIA Komnas Perempuan Dosen Fakultas Psikologi Unair Primatia Yogi Wulandari