Monumen Gerbong Maut, Kisah Pilu dan Saksi Sejarah Kekejaman Belanda Terhadap Pejuang Indonesia

Jurnalis: Husni Habib
Editor: M. Rifat

30 Januari 2024 10:00 30 Jan 2024 10:00

Thumbnail Monumen Gerbong Maut, Kisah Pilu dan Saksi Sejarah Kekejaman Belanda Terhadap Pejuang Indonesia Watermark Ketik
Monumen Gerbong Maut di Bondowoso. (Foto: Husni Habib/Ketik.co.id)

KETIK, BONDOWOSO – Jika melintas di depan kantor Bupati Bondowoso, anda pasti melihat monumen gerbong kereta api yang disebut dengan 'Gerbong Maut'.

Pemberian nama tersebut bukan tanpa alasan, terdapat sejarah memilukan yang dahulu pernah terjadi di balik nama tersebut.

Pada tahun 1947 saat Indonesia baru saja merdeka dari penjajah, Belanda yang tidak terima dengan kemerdekaan Indonesia kemudian melancarkan serangan yang disebut dengan Agresi Militer I. Serangan ini terjadi pada 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1948.

Pada saat itu Belanda menyerang kota-kota di Jawa dan Sumatera. Salah satu kota di wilayah di Jawa Timur yang terkena imbasnya adalah kota Bondowoso.

Kuatnya gempuran-gempuran tentara Belanda, yang didukung persenjataan yang lebih canggih, membuat banyak pasukan pro-Republik berantakan.

Akibat kekuatan yang tidak seimbang itu akhirnya banyak prajurit yang tertangkap oleh tentara Belanda dan dijebloskan ke penjara. Kebanyakan, milisi pejuang Republik yang tertangkap mendapat siksaan berat dari tentara Belanda.

Akibat banyaknya pejuang yang tertangkap penjara di Bondowoso tidak sanggup menampung. Oleh sebab itu akhirnya Belanda memutuskan untuk memindahkan para tahanan ke penjara yang ada di Kota Surabaya. Para pejuang itu pun akhirnya dibawa menggunakan kereta api melalui Stasiun Bondowoso.

Menurut catatan buku Monografi Daerah Jawa Timur - Volume 1-2 (1977), Peristiwa Gerbong Maut terjadi pada 23 November 1947 ketika 100 orang Indonesia yang ditawan oleh Belanda diangkut dari stasiun KA Bondowoso ke Wonokromo (Surabaya) dengan tiga buah gerbong barang yang tertutup rapat.

Ketiga gerbong itu adalah gerbong dengan kode GR 10152, GR 4416, dan GR5769. Gerbong pertama digunakan untuk mengangkut 38 orang tawanan. Gerbong kedua mengangkut 29 tawanan, dan gerbong ketiga diisi oleh 33 orang tawanan. Salah satu gerbong itu kini menjadi koleksi di Museum Brawijaya, Malang.

Perjalanan yang ditempuh dari Stasiun Bondowoso ke Stasiun Wonokromo di Surabaya membutuhkan waktu sekitar 16 jam. Selama perjalanan itu, para tawanan tidak mendapatkan makan dan minum. Mereka juga tidak memiliki akses udara yang cukup.

Gerbong yang digunakan untuk mengangkut para pejuang merupakan gerbong barang yang memiliki ruang tertutup dan minim ventilasi. Ditambah dengan atap yang terbuat dari seng membuat ruangan terasa panas dan pengap.

Hasilnya, sebanyak 46 pejuang pro-kemerdekaan Indonesia tewas dalam perjalanan itu. Gerbong pertama dengan kode GR5769 yang sama sekali tidak memiliki ventilasi menewaskan seluruh penumpang di dalamnya yang berjumlah 38 orang.

Di gerbong kedua dan ketiga total tawanan yang tewas ada 8 orang. Sementara itu, kondisi para tawanan lain terperinci sebagai berikut, 12 orang sakit parah, 30 orang tawanan lemas tak berdaya, dan 12 orang tawanan berhasil selamat.

Peristiwa meninggalnya para tahanan dalam perjalanan dari Stasiun Bondowoso menuju Stasiun Surabaya inilah yang disebut sebagai Peristiwa Gerbong Maut. Ini untuk mengingatkan kekejaman Belanda pada pejuang Indonesia.

Saat ini, Kereta api Gerbong Maut disimpan di Museum Brawijaya yang berada di Jalan Ijen No.25, Malang, Jawa Timur. Sedangkan di pusat kota Bondowoso dibuat replika sebuah monumen, yang diberi nama Monumen Gerbong Maut.(*)

Tombol Google News

Tags:

sejarah Pendidikan Gerbong Maut Agresi Militer I Belanda Penjajahan Pejuang