Kasus Kekerasan Anak Terus Menurun Tiap Tahun, Surabaya Jadi Kota Terbanyak Pelaporan

Jurnalis: Moch Khaesar
Editor: Muhammad Faizin

14 November 2024 19:10 14 Nov 2024 19:10

Thumbnail Kasus Kekerasan Anak Terus Menurun Tiap Tahun, Surabaya Jadi Kota Terbanyak Pelaporan Watermark Ketik
Psikolog, Clinical Psychologist UPT PPA DP3AK Provinsi Jawa Timur, Ajeng Harlika P saat menyampaikan materi seminar, Kamis, 14 November 2024. (Foto: Khaesar/Ketik.co.id)

KETIK, SURABAYA – Kasus kekerasan terhadap anak di Jawa Timur perlahan menurun sejak 2023 hinggq 2024 ini. Dimana tahun 2024, kasus kekerasan kepada anak terjadi sebanyak 956 kasus dibandingkan tahun 2023 mencapai 1.232 kasus. 

Kondisi ini yang membuat Fakultas Kesehatan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) menggelar seminar bertajuk '4th healer International Seminar, Explore The Intersection of Abuse and Psychosocial Well-Being' pada Kamis, 14 November 2024.

"Dimana Surabaya menjadi kota yang banyak pelaporan kekerasan kepada anak yang mencapai 156 kasus, dan daerah lainnya mungkin jiga banyak tapi tidak ada yang melaporkan ke kami," ucap psikolog Clinical Psychologist UPT PPA DP3AK Provinsi Jawa Timur, Ajeng Harlika P saat menyampaikan materi seminar.

Selain Ajeng, Ari Widodo, Country Program Director of Child Protection UNICEF Indonesia, serta Merry Sunaryo dosen Fakultas Kesehatan Unusa.

Merry menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan agar mahasiswa lebih peduli terhadap masalah mental dan bentuk pencegahannya. Dirinya menekankan urgensi topik kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Terlebih, maraknya mahasiswa yang mengakhiri hidupnya dalam lingkungan kampus.

"Masalah mental saat ini sudah menjadi isu yang sangat mendesak. Banyak mahasiswa mengalami tekanan yang berujung pada tindakan ekstrem. Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang kesehatan mental, bagaimana cara mencegah masalah tersebut, dan langkah-langkah apa yang bisa diambil jika mereka atau teman mereka mengalami gangguan mental," kata Merry.

Lebih lanjut, Merry menambahkan bahwa seminar tahunan ini terus berevolusi dengan mengangkat topik-topik yang relevan.

"Setiap tahun kami mengadakan seminar internasional ini dengan tema berbeda. Tahun ini, kami fokus pada kesehatan mental karena urgensinya yang semakin nyata di lingkungan kampus," terang Merry.

Merry menyebut terselenggaranya kegiatan ini semakin menegaskan komitmen Unusa dalam berkontribusi pada kesejahteraan psikologis generasi muda, sejalan dengan misi mendidik dan menginspirasi masyarakat.

Ia pun berharap usai acara ini, mahasiswa lebih peduli dan mampu mencegah serta menghadapi masalah mental dengan tepat.

"Kami harapkan, kalau memang punya masalah pribadi, atau masalah kuliah, atau masalah yang lain sebagainya, sudah tidak bisa diselesaikan, ayo kita melapor atau berkonsultasi, atau mungkin kasarnya kita ya berkonsultasi ke psikolog," papar Merry.

"Jadi berkonsultasi ke psikolog itu bukan karena maaf, orang gila. Tapi karena memang kita butuhkan itu, terkadang kita bercerita ke orang yang teman dekat saja, itu malah menjadi resiko," tukasnya.

Sementara itu, Ajeng Harlika, perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur mengungkapkan bahwa beberapa kasus kekerasan dari pihak keluarga menjadi salah satu pemicu dalam gangguan mental anak maupun remaja pada khusus perempuan.

Menurutnya, bentuk kekerasan itu ada beberapa macam, mulai dari fisik, psikis, seksual, penelantaran, eksploitasi, tindak pidana perdagangan orang (TPPO), hingga Bullying.

"Dihardik, dihina, dimaki itu termasuk kekerasan psikis, nah itu yang banyak dialami oleh anak maupun perempuan. Selain kekerasan fisik yang berupa tamparan, ditendang, dipukul dan dianiaya, kekerasan psikis ini termasuk yang tertinggi," ujarnya.

Berdasarkan data rekap penanganan kasus melalui pos sapa di UPT PPA DP3AK Provinsi Jatim, per 31 Oktober 2024 perempuan dengan tentang usia 18 - 55 tahun ada 13 kasus bentuk kekerasan fisik KDRT (Kekerasan yang dilakukan dalam lingkungan rumah tangga) dan Non KDRT (Kekerasan yang diluar lingkungan rumah tangga).

Tak jauh beda, kasus bentuk kekerasan psikis KDRT dan Non KDRT tercatat ada 12.

"Para pelapor ini mengaku justru banyak mendapatkan tekanan dari keluarganya sendiri. Kalau kita amati informasi terbaru, tak segan-segan pelakunya dari keluarga sendir. Tak sedikit korban ini datang kepada kami dalam kondisi depresi. Karena masyarakat beranggapan kalau korban pelecehan atau kekerasan seksual ini speak up, dianggap sebuah aib," jelasnya.

Sehingga, Ajeng berharap dengan adanya kegiatan ini mampu menjadikan para mahasiswa sebagai agen perubahan, untuk merubah stigma itu di masyarakat. Serta memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengatasi tantangan yang  mereka hhadapi dan lebih peduli kepada kesehatan mental diri sendiri.

"Kegiatan ini sangat bagus ya, semoga ke depannya semakin banyak sosialisasi serupa agar anak muda lebih peduli terhadap kesehatan mental mereka. Ini penting untuk masa depan mereka," tandasnya. (*)

Tombol Google News

Tags:

Kekerasan kepada anak Jawa timur UPT PPA DP3AK 4th healer International Seminar Explore The Intersection of Abuse and Psychosocial Well-Being Unusa Fakultas Kesehatan Unusa Fkes Unusa