Jurnalisme Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Editor: Fathur Roziq

15 Maret 2024 00:58 15 Mar 2024 00:58

Thumbnail Jurnalisme Amar Ma’ruf Nahi Munkar Watermark Ketik
Fathur Roziq*

Telah sangat lama jurnalisme berpaham pada sebuah ungkapan: bad news is good news. Sudah ratusan tahun. Masih banyak yang meyakini bahwa berita tentang kabar negatif selalu berhasil menarik perhatian publik. Berita seperti itu diyakini menjanjikan kelebihan. Secara branding maupun positioning.

Banyak pula yang mematahkan kredo bad news is good news. Ungkapan itu dianggap sudah ketinggalan. Bukan zamannya lagi jurnalis menulis hal-hal negatif. Toh, itu akan mematikan bisnis media mereka sendiri.

Dianutlah kini good news is good news. Banyak yang menyebutnya jurnalisme positif. Jurnalis diminta selalu menebar pencerahan. Menyemangati anak bangsa untuk selalu menjadi optimis. Mendorong perbaikan.

Media tempat saya bekerja dan belajar dulu punya ”kaidah jurnalisme” sendiri. Apa itu? Kebijakan redaksi yang simpel. Fokus kepada pembaca. Begini rumusnya.

Masyarakat kita ini sudah terlalu banyak masalah. Jangan lagi dijejali terus berita-berita kasus. Skandal, pembunuhan, penipuan, korupsi. Pikiran jadi ruwet-wet-wet. Mereka bisa sumpek. Seharian.

Seharusnya, tulisan-tulisan bernada optimistis disuburkan. Mengolah berbagai hal dalam kehidupan untuk membangun optimisme. Cerita-cerita kemenangan manusia. Kisah-kisah inspiratif. Manufacturing hope.

Satu doktrin yang saya pegang teguh sampai sekarang adalah mindset yang pro-growth. Jurnalis harus mendukung pertumbuhan, pembangunan, kemajuan. Dilarang menentang program-program yang bagus buat masyarakat. Karya, kreasi, inovasi yang positif wajib didukung.

Pernah ada seorang editor (redaktur) yang dimutasi. Gara-garanya, dia membuat headline berjudul Surabaya Menuju Kota PKL. Maksudnya menggambarkan fakta maraknya pedagang kaki lima di kawasan Pasar Kembang, Surabaya. Saat itu juga tengah marak penertiban dan pembangunan sentra PKL.

Satu lagi larangan redaksi  yang paling dicamkan ialah menulis berita bernuansa pembunuhan karakter (character assassination). Terhadap tokoh, publik figur, pejabat. Lebih-lebih terhadap pengusaha mitra bisnis. Karir bisa runyam he… he… he….

Tapi, ada juga satu doktrin "Bos Besar" yang paling heroik. Doktrin melawan koruptor. Bagi koruptor, seakan tidak ada maaf. Jika diyakini korupsi. Lebih-lebih sudah kuat bukti. Jurnalis media kami, yang terbesar di Jawa Timur dan Indonesia, wajib bernyali tinggi menghadapi pelaku korupsi. Kalau perlu, disokong tim dan disediakan anggaran khusus dari perusahaan untuk liputan investigasi.

Kejar koruptor! Sekalipun dia pemasang iklan. Walaupun dia sangat baik dalam bekerja sama bisnis. Perilaku korupsi ini tidak bisa ditoleransi. Perbuatan itu adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).

Saya teringat pengalaman sekitar 2011 lalu. Tentang sebuah liputan kasus korupsi di BUMD atau sekarang Perumda. Kamis sore (14/3/2024), saya ditelepon seorang teman. Beliau mengabari bahwa ada seorang mantan Direktur Utama (Dirut) BUMD yang meninggal.

”Pak Dirut meninggal, Mas?” ungkap beliau.

”Pak Dirut sinten?” tanya saya.

Niku Mas, Pak Dirut yang sampean penjarakan,” balas beliau.

Astaghfirullah. Inna lillaahi wa inna ilaihi raajiuun. Semoga beliau husnul khotimah,” ucap saya sambil menyetir.

Istri yang berada di kursi samping langsung bertanya. Siapa orang yang saya penjarakan. Saya jelaskan bahwa beliau adalah Dirut BUMD. Pak Dirut itu pernah mengutangkan uang perusahaan senilai Rp 3 miliar kepada klub sepak bola. Kebijakan tersebut melanggar ketentuan.

Waktu itu, ada peraturan daerah yang tegas mengatur bahwa BUMD nonbank atau koperasi bukanlah lembaga keuangan. Tidak boleh melakukan pinjam-meminjam uang. Sebab, BUMD yang dia pimpin bukan lembaga keuangan, seperti bank, milik daerah. Lebih-lebih, bertahun-tahun uang itu belum dikembalikan. Aparat hukum pun menyidiknya sebagai kasus korupsi.

Tentu, semua terjadi bukan karena ada permusuhan. Lebih-lebih niat dan iktikad buruk. Sebab, almarhum adalah orang yang dikenal baik. Suka membantu siapa saja. Dosen hebat. Tokoh sebuah ormas keagamaan. Saat bertemu pun, kami tetap berjabat tangan. Niat sejatinya sebatas mengingatkan saja. Tugas jurnalistik semata. 

Tugas jurnalis, kurang lebihnya, adalah amar ma’ruf nahi munkar. Selalu mendahulukan informasi tentang hal-hal positif. Kegiatan berlomba-lomba dalam kebaikan. Ajakan membangun, berkontribusi luhur dan mulia, serta meningkatkan kemaslahatan bagi masyarakat.

Tentu tetap dalam koridor faktual, jujur, dan adil. Jurnalisme positif, good news is good news, harus mewarnai, bahkan mendominasi wacana publik.

Pada saat yang sama, alarm untuk mencegah kemungkaran tetap menyala. Lebih-lebih terhadap tindakan korupsi. Jurnalis tidak selayaknya diam. Mata terpejam. Karena jurnalis profesional punya tugas profesi yang mulia bagi masyarakat. Seperti seorang dokter, pengacara, dai, hakim.

Bad news is good news bukanlah kredo yang berlumuran dosa. Media berfungsi sebagai kontrol sosial. Tujuannya, mencegah kemungkaran. Asal, tetap berpedoman pada UU Pokok Pers, Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Pemberitaan. Memegang iktikad baik dan hati nurani bersih.

Jurnalisme positif adalah ”fardhu ain”. Tidak boleh ditinggalkan. Kontrol sosial demi mencegah kemungkaran adalah ”fardhu kifayah”. Harus dilaksanakan bila tidak ada jurnalis lain yang mau atau mampu melakukannya. (*)

*) Fathur Roziq, redaktur dan jurnalis Ketik.co.id yang bertugas di Sidoarjo

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

*) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

**) Ketentuan pengiriman naskah opini:

• Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.

• Berikan keterangan OPINI di kolom subjek

• Panjang naskah maksimal 800 kata

• Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP

• Hak muat redaksi

Tombol Google News

Tags:

jurnalisme Korupsi jurnalistik Jurnalis Bad News Good News sidoarjo Surabaya Fathur Roziq