Bivitri Susanti, Pendiri STHI Jentera, Srikandi Hukum di Balik Film ‘Dirty Vote’

Jurnalis: Muhammad Faizin
Editor: Mustopa

12 Februari 2024 09:07 12 Feb 2024 09:07

Thumbnail Bivitri Susanti, Pendiri STHI Jentera, Srikandi Hukum di Balik Film ‘Dirty Vote’ Watermark Ketik
Bivitri Susanti, salah satu pakar hukum tata negara yang terlibat dalam film dokumenter 'Dirty Vote' yang mengungkap berbagai desain skenario kecurangan Pemilu 2024. (STHI Jentera)

KETIK, JAKARTA “Menyusun dan menjalankan skenario kotor itu tak perlu kecerdasan atau kepintaran. Yang diperlukan  cuma 2: Mental Culas dan Tahan Malu”.

Kutipan itu diucapkan Bivitri Susanti, salah satu dari tiga pakar hukum tata negara yang membintangi film dokumenter ‘Dirty Vote’. Film ini direncanakan tayang pada hari Minggu, 11 Februari 2024 pukul 11:00 WIB, namun sempat tertunda beberapa menit karena sejumlah kendala.

Setidaknya ada tiga kanal Youtube yang secara resmi menayangkannya. Yakni Dirty Vote yang merupakan kanal resmi; serta dua kanal lain yang menjalin kerjasama yakni PSHK Indonesia dan Refly Harun, milik pakar hukum tata negara Refly Harun.

Disutradarai jurnalis spesialis investigasi Dandhy Dwi Laksono, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas organisasi masyarakat sipil. Yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.

Menurut Bivitri Susanti, Dirty Vote merupakan sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.

Bersama dua koleganya sesama ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti mengeksplanatori atau menjelaskan dengan data yang kaya dan akurat, tentang betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi. 

“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” ujar Bivitri dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi media online nasional Ketik.co.id.

Nama Bivitri Susanti sendiri bukan nama yang asing dalam dunia hukum di Indonesia. Ia sejak lama dikenal sebagai akademisi hukum muda dengan pemikiran pembaharuan hukumnya yang progresif.

Dilansir dari dari jentera.ac.id, Bivitri Susanti adalah akademisi dan pengamat hukum tata negara Indonesia. Pakar kelahiran 5 Oktober 1974 ini merupakan pelopor sekaligus pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH ) Indonesia Jentera. Ia juga pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

Sebagai bagian dari aktivis mahasiswa di era reformasi, Bivitri bersama sejumlah rekan dan seniornya di kampus turut mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang merupakan lembaga penelitian dan advokasi untuk reformasi hukum. Institusi ini didirikan atas dasar peristiwa Mei 1998. Bivitri kemudian lulus S1 dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1999.

Sempat menjadi praktisi hukum, Bivitri kemudian melanjutkan studi magister hukum ke Universitas Warwick, Inggris pada 2002. Setelah lulus, ia kemudian melanjutkan ke jenjang doktoral di University of Washington School of Law, Amerika Serikat.

Keterlibatannya dalam reformasi dan pembaruan hukum, Bivitri terlibat sebagai juri dalam Bung Hatta Anti Corruption Award. Ini merupakan sebuah penghargaan untuk tokoh-tokoh yang dianggap anti korupsi dan berintegritas.

Dilansir dari situs lembaga tersebut, Bivitri mulai bekerja sebagai pengajar hukum tata negara pada 2015. Saat itu, ia juga menjabat Wakil Ketua I STH Indonesia Jentera dan peneliti di PSHK dalam bidang pembaruan hukum, antikorupsi dan hak-hak konstitusi. Dia juga kerap bekerja bersama dengan berbagai organisasi, mulai masyarakat sipil, hingga institusi pemerintah.

Bivitri dikenal aktif dalam kegiatan pembaruan hukum. Ia merumuskan beberapa konsep dan langkah pembaruan, seperti Koalisi Konstitusi Baru (1999-2002), penulisan Cetak Biru Pembaruan Peradilan, Tenaga Ahli untuk Tim Pembaruan Kejaksaan (2005-2007), Tenaga Ahli untuk Dewan Perwakilan Daerah (2007—2009), dan advokasi berbagai undang-undang.

Bivitri juga pernah menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014. Dua tahun kemudian, dia menjadi visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance. Ia juga menjadi visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.

Atas berbagai kontribusinya itu, Bivitri mendapatkan sejumlah penghargaan. Diantaranya sebagai Pemikir Muda Hukum Tata Negara pada 2018. Ia juga diganjar penghargaan dalam Anugerah Konstitusi M. Yamin dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN). (*)

Tombol Google News

Tags:

Bivitri Susanti pakar hukum tata negara Dirty Vote Kecurangan pemilu pemilu2024 pilpres2024 film dokumenter Dandhy Dwi Laksono Aliansi Jurnalis Independen Jentera PSHK