Best Friend

Editor: Fathur Roziq

8 Maret 2024 02:32 8 Mar 2024 02:32

Thumbnail Best Friend Watermark Ketik
Fathur Roziq, Jurnalis Ketik.co.id

”Teman yang memegang tanganmu dan mengatakan hal yang salah lebih berharga daripada orang yang menjauh.” 

Barbara Kingsolver, penulis, novelis Amerika, pemenang hadiah Pulitzer 

 

”Saya suka mendengarkan. Saya telah belajar banyak dari mendengarkan dengan cermat. Kebanyakan orang tidak pernah mendengarkan.” 

Ernest Hemingway, Sastrawan, penulis, dan wartawan Amerika Serikat

 

Seorang teman bisa memberitahukan kepada kita hal-hal yang tidak ingin kita katakan kepada diri sendiri. Teman baik adalah orang yang jujur kepadamu, bukan yang selalu membenarkanmu.

Memang benar bahwa pertemanan tidak monoarti. Pertemanan itu warna-warni. Begitu pula menggambarkan hubungan antara kekuasaan (pemerintah) dan media massa (pers).

Hubungan antara pemerintah daerah dan pers, kurang dan lebihnya, ibarat hubungan pertemanan. Secara profesional, relasi antara pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif, dan pers di daerah adalah relasi pertemanan. Seharusnya dua kawan baik. Saling mendukung dalam kebaikan. Saling mengingatkan dalam perjalanan.

Pers memiliki karakter terbuka. Transparan. Pemerintah pun wajib terbuka dan transparan karena harus mewujudkan good governance dan clean government. Jika hubungan keduanya harmonis, pemerintahan yang baik dan bersih akan terwujud dengan lebih mudah.

Pemerintah berkewajiban mewujudkan pemerintahan transparan, akuntabel, dan bersih dari korupsi. Media pers, dengan para jurnalisnya, berperan mendorong transparansi, mendukung akuntabilitas, dan mencegah korupsi. Sangat penting menjalankan peran masing-masing dengan baik.

Tentu, dengan begitu, setiap masalah bisa dicegah. Kekurangan birokrasi bisa diperbaiki. Celah-celah untuk melakukan tindakan korupsi segera diantisipasi sejak dini.

Sebaliknya, bila masing-masing tidak menjalankan peran secara benar, masalah-masalah akan muncul. Disfungsi terjadi. Konflik kepentingan menjadi-jadi. Kongkalikong di sana-sini.

Percaya atau tidak? Terbongkarnya kasus korupsi anggota DPRD Sidoarjo periode 1999-2004 sejatinya juga bermula dari disfungsi itu. Kongkalikong itu. Lembaga legislatif yang tidak transparan dan oknum jurnalis yang tidak menjalankan fungsinya.

Saat itu, seorang jurnalis muda dihina. Yang menghina dia adalah seorang ketua fraksi di DPRD Sidoarjo. Seorang wartawan senior dengan angkuh duduk di sebelahnya. Tutur katanya berbisa. Seakan-akan dia mampu menjamin. Tidak akan terjadi apa-apa. Sang ketua fraksi sudah almarhum. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT. Wartawan senior itu masih aktif sampai sekarang. Juga tetap seolah-olah selalu mampu menjamin tidak akan terjadi apa-apa. 

”Habiskan tinta pulpenmu kalau bisa membongkar ini.” Kurang lebih seperti itu ucapan sang ketua fraksi dan si wartawan senior di lobi kantor.

Mereka merendahkan kemampuan jurnalis muda untuk mengungkap kejanggalan anggaran pengembangan sumber daya manusia (SDM) anggota DPRD. Baru saja dia mengkritisi penggunaan anggaran negara tersebut.

Saat itu, anggaran pengembangan SDM eksekutif untuk 13 ribu PNS bak seujung kuku jika dibandingkan dengan 41 anggota dan 4 pimpinan legislatif.

Pada tahun anggaran 2003, anggaran pengembangan SDM eksekutif hanya sekitar Rp 1,8 miliar. Di dalam gedung lain, anggaran SDM legislatif pada tahun yang sama Rp 20 miliar.

Perbandingan lebih mencolok terjadi pada tahun anggaran berikutnya, 2004. Saat itu, anggaran SDM untuk eksekutif turun menjadi Rp 530 juta. Tetapi, anggaran SDM untuk dewan justru naik menjadi Rp 23 miliar selama 1 tahun.

Transparan? Akuntabel? Tentu saja tidak. Dan, itulah masalahnya kemudian. Sikap kritis sebagai upaya mengingatkan dibalas hinaan. Si jurnalis muda ternyata menemukan seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Gesit, cekatan, cermat, dan rigid. Orangnya pun masih ada.  Auditor itulah yang mempereteli habis anggaran SDM tersebut. Hasilnya disabet penyidik kejaksaan. 

Belakangan ditemukan bahwa sebagian anggaran SDM DPRD itu digunakan untuk kegiatan fiktif. Pelatihan tanpa kegiatan. Anggarannya miliaran rupiah. Kegiatan dinas fiktif. Nilainya ratusan juta rupiah.

Tidak hanya itu. Dana pengembangan SDM juga digunakan untuk kepentingan pribadi. Studi S-2, umrah, naik haji. Bahkan, masing-masing anggota dewan bisa mengantongi honor Rp 500 ribu hanya untuk satu kali menonton televisi. Menyaksikan pidato kenegaraan presiden pada 17 Agustus 2003.

Semua pada akhirnya tahu ujung tidak adanya transparansi dan akuntabilitas itu. Duka bagi sejarah Sidoarjo. Begitu banyak tokoh berkualitas yang karirnya terpaksa habis karena itu. Beberapa mencalonkan diri pada Pemilu 2024 ini. Tetap mereka gagal. 

Sekali lagi, pemerintah dan pers adalah teman. Para jurnalis profesional adalah ”makhluk unik”. Mereka teman yang baik. Best friend. Terkadang mereka diam seperti singa. Gontai layaknya harimau. Namun, pancaindera jurnalis tetaplah alarm sensor yang superpeka. Melengking bila ada sinyal ketidakadilan. Lebih-lebih sinyal terhadap tindakan korupsi.

Mungkin ”singa” dan ”harimau” itu menimbulkan amarah dalam sekejap. Memantik prasangka yang meluap-luap. Namun, para jurnalis akan membantu menjadi pengingat agar selalu hati-hati dan waspada. Berkawan dengan insan pers, jurnalis, tidak akan membuat hidup menjadi seram. Asal, saling menghormati dan saling percaya.

”Persahabatan dibangun di atas dua hal. Rasa hormat dan kepercayaan. Anda dapat menghormati seseorang, tetapi jika Anda tidak memiliki kepercayaan, persahabatan akan hancur.

Stieg Larsson, jurnalis, penulis asal Swedia. (*)

 

 

Tombol Google News

Tags:

sidoarjo DPRD Sidoarjo Pemkab Sidoarjo eksekutif Legislatif Good Governance Clean Governmen