Profil Suhartoyo, Gagal Jadi Mahasiswa FISIP, Kini Malah Jadi Ketua MK

Jurnalis: Muhammad Faizin
Editor: Mustopa

9 November 2023 08:47 9 Nov 2023 08:47

Thumbnail Profil Suhartoyo, Gagal Jadi Mahasiswa FISIP, Kini Malah Jadi Ketua MK Watermark Ketik
Hakim Konstitusi, Suhartoyo saat memimpin sidang panel pendahuluan uji materiil tentang syarat capres - cawapres yang diajukan oleh mahasiswa FH Unusia, Brahma Aryana. (Humas MK)

KETIK, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) punya pimpinan baru. Dalam waktu kurang dari 2 x 24 jam setelah Anwar Usman dicopot oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), para hakim konstitusi sepakat menunjuk Suhartoyo sebagai Ketua MK.

Suhartoyo dipilih secara aklamasi oleh seluruh hakim konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Konstitusi yang digelar pada Kamis (09/11/2023). Ia dipilih menjadi ketua MK hanya berjarak 6 hari menjelang ulang tahunnya. Suami dari Sustyowati ini lahir pada 15 November 1959.

Seperti halnya Anwar Usman, Suhartoyo juga memiliki latar belakang yang sama. Yakni sama-sama berangkat dari hakim karir yang kemudian menjadi hakim konstitusi atas usulan dari Mahkamah Agung (MA).

Suhartoyo juga memiliki latar belakang pendidikan yang sama dengan Ketua MK beberapa waktu sebelumnya, Mahfud MD. Yakni sama-sama alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII).

Seperti halnya Saldi Isra, Suhartoyo termasuk hakim konstitusi yang memilih dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam memutus perkara Nomor 90. Ia menilai, pemohon peninjauan kembali tentang syarat usia capres – cawapres, tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum.

Suhartoyo dilantik sebagai hakim konstitusi oleh Presiden Jokowi pada 17 Januari 2015, menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya. Ia dilantik bersama dengan dosen Universitas Udayana, I Dewa Gede Palguna yang menggantikan Hamdan Zoelva karena pensiun.

 

Sempat Ingin Jadi Diplomat, Malah Jadi Hakim

Dalam profilnya seperti yang dilansir di situs MK, Suhartoyo semasa muda tidak pernah bermimpi menjadi penegak hukum apalagi hakim. Saat duduk di bangku SMA, ia bermimpi menjadi diplomat di Kementerian Luar Negeri.

Namun, cita-cita itu kandas karena selepas SMA, pria kelahiran Sleman ini justru diterima kuliah di Fakultas Hukum.

“Saya tidak menyesali tidak diterima menjadi Mahasiswa Ilmu Sosial, karena sebenarnya ilmu sosial politik sama dengan lmu hukum. Orientasinya tidak jauh berbeda,” ujar bapak tiga anak ini.

Seiring waktu Suhartoyo justru semakin jatuh cinta dengan ilmu hukum. Ia sempat berangan-angan menjadi jaksa setelah lulus kuliah. Namun karena teman belajar kelompok di kampus mengajaknya untuk ikut mendaftar dalam ujian menjadi hakim, ia pun ikut serta. Takdir pun memilihkan jalan baginya. Ia menjadi hakim, terpilih di antara teman-temannya.

“Justru saya yang lolos dan teman-teman saya yang mengajak tidak lolos. Akhirnya saya menjadi hakim. Rasa kebanggaan mulai muncul justru setelah menjadi hakim itu,” jelas penyuka hobi golf dan rally ini.

Pada 1986, ia pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung. Ia pun dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011. Di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar. Ia juga terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011).

 

Sempat Dikaitkan dengan Vonis Bebas Koruptor

Saat awal mengikuti seleksi sebagai hakim MK, Suhartoyo sempat didera kontroversi. Tak tanggung-tanggung, Komisi Yudisial yang tidak dilibatkan oleh MA menyebut Suhartoyo tidak layak menjadi hakim konstitusi.

Suhartoyo dituding terlibat dalam bebasnya koruptor kelas kakap, Sudjiono Timan. Atas hal itu, ia membantah tegas.

Suhartoyo menegaskan, ia tidak pernah menyidangkan perkara Sudjiono Timan. Namun, ia mengakui, saat disidangkan di tingkat pertama, ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Dalam kapasitas sebagai Ketua PN Jaksel, Suhartoyo yang menunjuk majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Namun, Suhartoyo tidak termasuk dalam susunan majelis hakim tersebut.

Menurut Suhartoyo, salah satu hakim yang menyidangkan perkara Sudjiono Timan, memiliki nama yang mirip dengannya.

Suhartoyo juga membantah tudingan Komisi Yudisial yang menyebut selama kasus tersebut disidangkan ia telah melakukan perjalanan ke Singapura sebanyak 18 kali. “Dewan Etik Mahkamah Agung pun sudah memeriksa paspor saya. Ketika itu saya hanya satu kali terbang ke SIngapura. Saya pun pernah mendengar isu akan dipanggil Komisi Yudisial dan sampai sekarang tidak ada panggilan itu. Saya percaya ungkapan ‘pertolongan Tuhan itu dekat’ apalagi terhadap orang yang difitnah,” tutur doktor ilmu hukum dari Universitas Jayabaya ini.

 

Mengaku Lahir dari Keluarga Sederhana

Suhartoyo mengaku berasal dari lingkungan sederhana. Karena itu ia tidak terlalu mengandalkan jabatan atau posisi. Baginya menjadi hakim konstitusi, hal yang tinggi dan sebenarnya membuatnya tidak nyaman karena fasilitas yang ada. “Saya ini nyaman menjadi orang-orang biasa saja,” ungkapnya.

Saat awal terpilih menjadi hakim konstitusi, Suhartoyo berharap keberadaannya bisa melengkapi sembilan pilar Hakim Konstitusi untuk memenuhi rasa keadilan yang dicari para pencari keadilan ke MK. “Saya bekerja untuk bisa memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan,” tandasnya.(*)

Tombol Google News

Tags:

Suhartoyo Ketua MK Suhartoyo Anwar Usman FH UII Mahfud MD Hakim Konstitusi profil