KETIK, HALMAHERA SELATAN – Apapun yang diberikan Tuhan kepada manusia, layaklah ia mengucap syukur. Meski yang diterima adalah sebuah beban kehidupan, bersyukur menjadi syarat ikhlas dalam menempuh jalur yang namanya Sabar.
Terlepas dari ujian dan cobaan hidup, berkecukupan maupun tidak berkecukupan, merupakan realita hidup yang telah di tentukan Tuhan Yang Maha Esa kepada masing-masing insan di muka bumi.
Serupa demikian, tentu sebagai manusia kita juga pasti mengalami hal yang demikian adanya. Kadang kita pasrah dan harus mengeluh melewati secercah jalan berliku tersebut.
Penggalan problem kehidupan di atas hingga kini masih dialami Mpok Atiyang warga desa Kupal Kecamatan Bacan Selatan Maluku Utara. Mpok Ati adalah sosok perempuan tangguh yang rela tangan terluka demi menghidupi keluarganya.
Di sebuah rumah kecil beratapkan daun rumbia (Sagu), Mpok Atiyang tinggal bersama suaminya, sebut saja Om Kunut.
Tak hanya Mpok Atiyang dan Om Kunut, rumah tak layak huni yang memiliki dua ruang kamar itu juga di tempati 3 orang anak buah perkawinan Om Kunut dan Mpok Atiyang.
Keterbatasan ekonomi, belum ditambah Om Kunut yang sekarang sedang sakit, membuat Mpok Atiyang harus bekerja keras mengumpulkan rezeki untuk kebutuhan obat-obatan Om Kunut dan kebutuhan makan sehari-hari seluruh keluarga.
Fisiknya yang kurus, dan usianya yang sudah menuah tak jadi penghalang buat Mpok Atiyang untuk bekerja dari pagi hingga petang. Bahkan, pada malam haripun Mpok Atiyang sering terlihat masih tetap dengan pekerjaannya.
Ketika pagi tiba, Mpok Ati harus ke hutan mengambil bambu yang tumbuh liar di seputaran hutan perkampungan warga sembari menunggu air laut surut. Surutnya air laut di manfaatkan Mpok Atiyang untuk menambang pasir material bangunan.
Bambu yang diambil di hutan dibuatkan lidi dengan ukuran 35 cm lalu dijual ke pedagang ikan asap dengan tujuan sebagai penahan agar daging ikan tak mudah lembek saat diasapin. Seikat lidi dijual dengan harga Rp 20 ribu.
"Seikat lidi ada 50 batang lidi. Itu dijual 20ribu. Kalau ambil 3 ikat, bisa 50ribu," kata Mpok Atiyang kepada Ketik.co.id.
"Sehari biasanya laku 3 ikat. Kadang cuman 1 ikat. kadang juga belum ada yang beli. Kalau pasir yang kumpul di tepi pantai, 1 retnya bisa 250ribu, tapi itu sebulan sekali. Saya sudah tua," tambah Mpok Atiyang bercerita sembari menggaruk kepalanya.
Anehnya, kehidupan Mpok Atiyang dan rumah tempat keluarganya tinggal hingga kini belum mendapat perhatian dari pemerintah baik desa maupun pemerintah di atasnya. Padahal, ada beberapa warga desa yang sudah mendapatkan bantuan rumah di kampungnya. Salah satunya adalah sekretaris desa.
Ada bantuan sosial yang diterima Mpok Atiyang dalam bentuk uang maupun pangan (beras) namun itupun di dapatnya kadang 3 bulan sekali dan nilainya kisaran Rp 900 ribu.
Mpok Atiyang yang gigih dan teguh pendirian tampaknya tak ingin bertadah tangan. Ia lebih memilih untuk berusaha sendiri dan sering di bantu beberapa anaknya.
"Saya memang dapat bantuan, saya lupa apa nama bantuan itu. Kalau diberi syukur, kalau tidak juga syukur. Saya jualan lidi ini saja dulu, kalau memang Allah kasih rahmat lebih dari itu saya tetap bersyukur," ucap Mpok Atiyang dengan senyum lebar penuh syukur. (*)