Meretas Benang Merah Money Politics dan Potensi Jeratan Korupsi

Editor: Marno

4 Juni 2023 17:02 4 Jun 2023 17:02

Thumbnail Meretas Benang Merah Money Politics dan Potensi Jeratan Korupsi Watermark Ketik
Oleh: Kresna Satra Wibowo*

Money politics atau politik uang masih menjadi 'noda' di tengah ajang pesta demokrasi lima tahunan. Sebuah sisi gelap namun disinyalir mampu 'menerangi' jalan para tokoh dalam meraih kekuasaan. 

Fenomena politik uang sendiri memiliki konsekuensi hukum. Akan tetapi sanksi itu nampaknya tak cukup mempan membumihanguskan praktik kecurangan dan memberikan efek jera. Bahkan, masih bertahan dan merajalela dalam setiap proses pemilihan umum (Pemilu) di Tanah Air.

Sementara money politics sendiri juga memiliki risiko tinggi. Jeratan imbal balik dana kampanye jumbo berpotensi menyeret seorang pejabat negara dalam sebuah lingkaran setan extra ordinary crime bernama korupsi. 

Mengambil jalur sempit antara sumbangan kampanye dan suap, 'money politics' tak sekadar merusak wajah demokrasi dan mengubahnya menjadi pasar yang dijual kepada penawar tertinggi. Namun juga bisa meruntuhkan kekuasaan seketika. 

Gambaran ini bukanlah hiperbola. Namun sebuah potret realistis dan musuh bebuyutan dalam demokrasi serta kemungkinan besar menjadi awal 'via dolorosa' (jalan kesengsaraan) para politisi. 

Ada sebuah contoh kasus. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018 lalu menduga Bupati Malang (RK) menggunakan uang hasil korupsi untuk membayar utang dana kampanye saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2010. 

Kemudian Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil. Ia diduga menggunakan uang setoran dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) demi safari politik menuju Pemilihan Gubernur (Pilgub) Riau 2024.

Jika kita merunut ke belakang, masih banyak lagi kasus yang melibatkan politik uang dalam pemilu. Misalnya pada Pilkada Serentak 2017. KPK menangkap tujuh kepala daerah dan calon kepala daerah dalam operasi tangkap tangan (OTT). Angka ini menunjukkan bahwa praktik politik uang bukanlah anomali, melainkan norma.

Foto Ilustrasi “Money Politics” ( Foto: ShutterStock)Ilustrasi “Money Politics” ( Foto: ShutterStock)

Bahkan baru-baru ini Komisioner Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Saurlin Siagian menilai praktik kejahatan itu kembali merebak jelang Pemilu 2024.

Komnas HAM menemukan sebagian besar praktik politik uang banyak menyasar kawasan industri salah satunya di Jatim. Ada 65 ribu perusahaan dan total 3,95 juta buruh menjadi sasaran praktik politik uang. 

Paling besar terjadi di area industri tersentralisasi Sidoarjo (temuan April hingga Mei 2023). Namun, secara identitas mereka berasal dari pedesaan yang mengais nafkah di perkotaan. Di mana Komnas HAM telah mengumumkan temuan tersebut kepada publik melalui media massa. 

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sendiri pernah mencatat terdapat 28 kasus pelanggaran pada Pemilu 2019 lalu dan telah diputuskan dalam persidangan. 

Pelanggaran paling banyak berupa politik uang dengan berbagai modus. Antara lain seperti pembagian sembako kepada masyarakat maupun secara terang-terangan memberikan uang kepada pemilih hingga menjanjikan ibadah umrah. 

Sementara itu, Studi oleh Transparency International Indonesia justru menunjukkan bahwa 71% responden percaya bahwa money politics merusak integritas pemilihan umum di Indonesia.

Jadi, apa pemicu fenomena ini? Jawabannya sederhana: ambisi meraih kekuasaan di antara kebutuhan dana yang besar untuk kampanye serta adanya penerima dana yaitu para calon voter. 

"Kampanye politik adalah mesin yang lapar akan dana," kata Marcus Mietzner, seorang peneliti politik dari Universitas Nasional Australia. 

Ini menciptakan lingkaran setan di mana dana kampanye yang semakin besar mendorong politisi untuk mencari lebih banyak uang, sering kali melalui cara-cara tidak etis atau bahkan ilegal seperti korupsi. 

Meski demikian, kita tidak boleh menyerah pada keadaan ini. Seperti yang pernah dikatakan oleh Abraham Lincoln,"Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." 

Oleh karena itu, kita perlu menentang praktik ini dan mendorong perubahan sistemik dalam sistem pemilihan kita.

Pasal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum menegaskan bahwa penggunaan uang untuk mempengaruhi pemilih adalah pelanggaran hukum. 

Langkah konstruktif yang bisa diambil adalah menerapkan pembiayaan kampanye publik, di mana dana kampanye berasal dari pemerintah, bukan dari sumbangan pribadi atau korporasi. 

Ini dapat memastikan bahwa politisi lebih memperhatikan kepentingan publik, bukan kepentingan donatur.

Pendorong lainnya adalah transparansi dalam pembiayaan kampanye. Saat ini, KPU membutuhkan laporan keuangan kampanye, tetapi kurangnya penegakan dan hukuman berarti bahwa aturan ini sering diabaikan. 

Kita perlu menerapkan sanksi yang lebih keras bagi mereka yang tidak melaporkan atau melaporkan secara tidak akurat pendanaan kampanye mereka.

Membuka tabir 'money politics' bukanlah hal yang harus kita terima sebagai bagian tak terhindarkan dari politik Indonesia. Melalui pendidikan, pemahaman, dan aksi kolektif, kita dapat memerangi praktik ini dan menciptakan sistem pemilihan yang benar-benar demokratis. 

Seperti yang dikatakan mantan Presiden Amerika, Thomas Jefferson, "Harga kebebasan adalah kewaspadaan abadi."

Kewaspadaan terhadap politik uang yang merusak esensi demokrasi kita perlu dipertahankan di Indonesia. 

Praktik ini telah membuka celah bagi manipulasi suara rakyat dan mengancam integritas pemilihan umum. Menerima hal ini sebagai kenyataan berarti mengabaikan tanggung jawab kita sebagai warga negara untuk melawan korupsi dan mendorong keadilan.

Edukasi politik bagi masyarakat juga menjadi aspek vital dalam usaha memerangi fenomena ini. Hanya mengungkap dan melaporkan praktik politik uang tidak cukup. Rakyat perlu dipahamkan bahwa suara mereka memiliki nilai yang jauh melebihi sejumlah uang yang ditawarkan.

Sambil mempertimbangkan semua ini, kita perlu merenungkan bagaimana sistem politik kita bisa memberikan insentif kepada politisi untuk lebih mementingkan pelayanan publik daripada akuisisi kekayaan. 

Solusinya mungkin berada pada reformasi sistem politik yang lebih luas, atau mungkin pada perubahan budaya politik kita. Namun, perubahan tidak akan terjadi jika kita hanya berdiam diri. 

Seperti kata penulis terkenal Eldridge Cleaver, "Anda adalah bagian dari solusi atau bagian dari masalah." Meski kita mungkin tidak bisa mengubah sistem dalam sehari, setiap langkah menuju transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam politik adalah langkah ke arah yang benar.

Politik uang dalam pemilihan umum di Indonesia adalah tantangan serius yang membutuhkan tindakan tegas. Mari kita bersama-sama melawan praktik ini dan memastikan bahwa suara rakyat mendapat tempatnya yang pantas dalam demokrasi kita. Karena demokrasi sejati adalah ketika suara rakyat lebih berharga daripada uang.(*)

 *) Kresna Satria Wibowo, Mahasiswa Studi S-1 Fakultas Hukum Unair 2022

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Ketentuan pengiriman naskah opini:

Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek

Panjang naskah maksimal 800 kata

Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP

Hak muat redaksi

Tombol Google News

Tags:

Money politics pemlu 2024 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fakultas Hukum Unair pilpres2024 Pileg2024