BKOW dan UNICEF Siap Tekan Angka Perkawinan Anak Jatim

Jurnalis: Shinta Miranda
Editor: Irwansyah

6 September 2022 06:47 6 Sep 2022 06:47

Thumbnail BKOW dan UNICEF Siap Tekan Angka Perkawinan Anak Jatim Watermark Ketik
Penandatangan MoU oleh BKOW dan UNICEF. (Foto: dok.UNICEF)

KETIK, SURABAYA – Sepanjang tahun 2021, ada 17.585 pengajuan dispensasi yang diterima oleh Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Jawa Timur. 

Melihat hal tersebut kolaborasi yang dibangun antara Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW) dan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) diharapkan bisa menjadi langkah kuat dalam menurunkan angka perkawinan anak di Jatim. 

Demikian dikatakan Ketua BKOW Jawa Timur, Garjati Heru Cahyono, dalam Seminar dan Penandatanganan MoU Pencegahan Perkawinan Anak bersama UNICEF yang dihadiri oleh 44 Organisasi Wanita di bawah koordinasi BKOW, di Hotel Grand Mercure Surabaya, Senin (5/9/2022) 

“Angka yang tinggi ini, menunjukan betapa besar kasus perkawinan anak di Jawa Timur, dan bukan tidak mungkin ini hanya fenomena gunung es karena ada yang jumlahnya tidak tercatat," ujar Garjati. 

Garjati mengungkapkan selama masa Pandemi COVID-19, situasi perkawinan anak di Indonesia semakin tidak dapat dihindari. 

“Penutupan sekolah, tekanan ekonomi, gangguan layanan, kematian orang tua karena pandemi membuat anak perempuan lebih berisiko untuk menikah di bawah umur," ungkap Garjati. 

Sejak Januari hingga Mei 2022 sudah ada 5.285 perkara perkawinan anak yang diputus Pengadilan Agama berdasarkan data DP3AK Jawa Timur. 

"Dari berbagai macam latar belakang, pendidikan, agama maupun profesi, berupaya untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam program pencegahan perkawinan anak," tambahnya. 

Di Indonesia, perkawinan anak akan berdampak terhadap tingkat pendidikan anak. Anak perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun berpeluang empat kali lebih rendah untuk menyelesaikan pendidikan menengah atau setara. 

Kemudian perkawinan anak akan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7% dari PDB di Indonesia. Serta berdasarkan data BPS tahun 2018, 3,5 persen kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak berumur di bawah tiga tahun (batita) dengan usia ibu 14-15 tahun. Selanjutnya sebesar 22,4 persen terjadi pada batita dengan usia 16-17 tahun. 

Untuk itu kolaborasi dan sinergisitas dalam pencegahan perkawinan anak merupakan langkah penting untuk memastikan masa depan yang aman bagi anak-anak di Indonesia. 

Kepala Perwakilan UNICEF Wilayah Jawa, Arie Rukmantara dalam sambutannya menyampaikan apresiasinya kepada BKOW dan seluruh organisasi yang tergabung atas komitmen bersama untuk melakukan kampanye pencegahan perkawinan anak. 

“Pencegahan perkawinan anak perlu dilakukan secara kolaboratif dan terintegratif. Kehadiran dan komitmen BKOW merupakan upaya untuk memastikan tidak ada satu pun anak yang tertinggal atau kita kenal sebagai No Child Left Behind," jelasnya. 

Arie juga menambahkan bahwa upaya pencegahan perkawinan anak sejalan dengan pencapaian SDG Tujuan ke-5 untuk penghapusan perkawinan anak dan Tujuan ke-16 untuk Perlindungan Anak. 

Dalam sambutannya, Arie menambahkan bahwa berdasarkan data BPS, jika masalah perkawinan anak di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah berhasil diselesaikan, maka sama halnya pemerintah berhasil menekan hampir 50 persen beban kasus perkawinan usia anak secara nasional.

"Di Provinsi Jawa Timur Jatim sebanyak 12,71 persen anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun," tutupnya. (*)

Tombol Google News

Tags:

BKOW UNICEF perkawinan anak